Kesaksian Novel Baswedan: Mantan Kapolda Metro Jaya, M Iriawan Sempat Sebut Nama 'Jenderal'
Novel Baswedan saat itu juga tengah menyelidiki kasus megakorupsi e-KTP dengan sasaran Setya Novanto.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Novel Baswedan yang menjadi penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan kesaksiannya ihwal kejadian usai penyiraman air keras terhadap dirinya. Hal itu diungkapkannya dalam sidang lanjutan, di mana dirinya menjadi saksi.
Novel menyebut, setelah dirinya diserang, dia menghubungi Kapolri Tito Karnavian. Tito seperti dikatakan Novel, akan menyampaikan kepada jajaran stafnya untuk menindaklanjuti.
"Tak lama saya dihubungi oleh Pak Kapolda Metro. Saat datang pertama kali Pak Kapolda Metro Pak M Iriawan rasanya juga ada Ketua KPK Pak Agus Rahardjo," ujar Novel di PN Jakarta Utara, Kamis (30/4/2020).
Novel menjelaskan, pertemuan tersebut terjadi di rumah sakit saat dirinya dirawat.
Iriawan yang kini menjadi Ketua Umum PSSI ketika itu menyesalkan peristiwa yang terjadi.
Saat itulah, Novel mengatakan Iriawan sempat menyebut nama petinggi polisi atau jenderal polisi yang dikenal di kalangan polisi.
"Beliau seperti merasa kecolongan. Beliau menyebut beberapa kali nama orang yang beliau sebut 'jenderal ini," lanjut Novel.
Namun, Novel kemudian menyebut bahwa pada 22 Juli 2019, dirinya melakukan perubahan soal Berita Acara Perkara (BAP). Hal itu juga berkaitan dengan Kapolda Metro Jaya.
"Soal ralat itu tanggal 22 Maret atau 22 Juli 2019, tim gabungan dari Polri melakukan pemeriksaan terhadap diri saya. Ada satu istilah yang terlewat, Kapolda memberitahu ke saya, padahal saya yang menyampaikan ke Kapolda," ujar Novel.
Novel Baswedan juga menceritakan sebelum tragedi penyiraman air keras ke dirinya, sempat ada orang tak dikenal yang memantau rumahnya.
"Yang pertama ini adalah orang yang mengawasi depan rumah saya, dia masuk pura-pura tanya baju gamis laki-laki, padahal tidak pernah ada yang menjual. Ini adalah foto-foto lainnya, ini orang yang tadi," ujar Novel.
Novel juga menunjukkan foto dari tetangganya yang pernah melihat mobil melintas di depan kediamannya.
"Jadi, di depan rumah saya ada jalan, lalu sungai, lalu jalan di seberang rumah saya. Ada beberapa kendaraan dan mobil yang mencurigakan, foto-foto mobilnya sudah saya berikan ke Kapolda Metro, karena itu saya dapat dari tetangga saya," kata Novel seraya menunjukkan foto kepada hakim.
"Apa tanggapan Polda pas dikasih tahu?" tanya hakim.
Novel menjawab pertanyaan hakim bahwa Kapolda Metro Jaya saat itu, Komjen M Iriawan merespons seadanya.
"Katanya 'oh iya, kita perlu waspada dan hati-hati'. Saya ketika melihat itu, rasanya ada kekuatan yang cukup besar yang Pak Kapolda pun rasanya agak sedikit takut," jawab Novel.
Dalam persidangan, Novel mengaku sebelum penyiraman air keras kepadanya, dia kerap mendapatkan teror-teror yang berkaitan dengan kasus korupsi yang dipegangnya.
"Ancaman-ancaman dalam perkara itu banyak sekali saya terima. Jadi ketika alami itu, saya hati-hati, tetapi tentunya berbeda ketika saya mengalami hal ini (penyiraman air keras)," ujarnya.
Apa yang Novel katakan seperti diketahui tak hanya dilandasi argumen ataupun BAP, tetapi juga laporan dari Komisi Nasional HAM, yang menyebut bahwa kasusnya dilakukan secara terorganisir.
"Saat itu ada penanganan perkara terkait dengan surat yang itu dilakukan oleh tersangka Basuki Hariman, dan saat itu ada sedikit kehebohan pemberian sejumlah uang kepada yang diduga oknum-oknum penegak hukum, dan ini kemudian jadi pembicaraan. Bahkan, ada penyidik dan penyelidik di KPK yang sengaja dikirimkan oleh seorang petinggi-petinggi kepolisan," ujar Novel.
Dia bahkan diperbincangkan sebagai penyidik yang mengoordinasikan sejumlah satgas untum menargetkan para petinggi Polri, meski diketahui dirinya membantah hal itu.
Novel saat itu juga tengah menyelidiki kasus megakorupsi e-KTP dengan sasaran Setya Novanto.
"Saat itu terkait pidana penyelewengan uang, saya sampaikan ke BPK saat itu dan cerita-cerita itu bocor ke luar. Saya enggak tahu bagaimana prosesnya bisa sampai diketahui orang-orang di luar KPK," kata Novel.
Novel juga menjawab pertanyaan dari penasihat pelaku, termasuk soal detail apakah pelaku penyiraman meneriakkan namanya sehingga Novel menoleh saat kedua pelaku mendekatinya.
"Saya katakan pada saat aktivitas saya pulang dari masjid, ada tetangga yang menyapa karena dia melintas. Seingat saya saat itu tidak ada kaitan dengan saya dipanggil, saya tidak mendengar saya dipanggil, dan kalaupun saya dipanggil, saya seharusnya dengar karena saat itu sunyi," kata Novel menjelaskan kepada penasihat hukum saat sidang.
Penasihat hukum pun bertanya mengapa Novel menoleh saat kedua pelaku mendekati, apakah dirinya mengetahui itu.
"Kalau ada motor yang berjalan pelan, saya merasa orang ini akan mengajak bicara, makanya saya menoleh," lanjutnya.
Baca: Pasutri Pelaku Penusukan Wiranto Ternyata Bawa Anaknya Saat Beraksi di Alun-alun Menes
"Saat menoleh, lalu ada siraman air, mana yang terkena duluan, pipi, bibir, dagu, badan?" tanya penasihat hukum pelaku.
Novel kemudian mengatakan bahwa dirinya tidak secermat itu. Namun dia tetap menjawab beberapa pertanyaan itu, salah satunya soal bagian tubuh mana yang terkena siraman air keras.
"Ketika dikatakan bahwa siraman itu ke badan, saya katakan tidak, karena sebagian besar airnya kena ke muka saya. Awalnya kena ke pipi, dagu, sulit sekali untuk memastikan itu, dan rasanya wajah ke bagian atas," ujarnya.
"Menurut tenaga medis, karena air keras itulah, hidung saya tersumbat, dan karena itulah saya merasakan gagal napas, lalu wajah saya perih dan merasa terbakar," kata Novel.
Dalam kesempatan tersebut, Novel Baswedan menyebut mata sebelah kirinya yang mengalami luka akibat penyiraman air keras, tidak ditutupi atau dilindungi dengan softlens.
"Apakah mata sebelah kiri ini memang itu begitu membentuk lukanya? Ini mohon maaf ini saudara saksi, jangan sampai nanti kita salah mengartikan, apakah saudara saksi pakai softlens atau luka betulan?" tanya penasihat hukum.
Novel pun menjawab bahwa memang ada sejumlah oknum yang bermain narasi bahwa dirinya memakai softlens. Novel pun menegaskan hal itu tidak benar.
Baca: Mbak Tutut: Ibu Tien Soeharto Meninggal Bukan Karena Tertembak
"Saya tahu kalau ada oknum tertentu yang membuat cerita seperti itu. Walaupun sudah dilaporkan, tidak diproses dan itu faktanya. Mata saya dipegang tidak apa-apa. Kalau ada cottonbud, dicopot juga boleh," lanjutnya.
Perdebatan soal softlens dan mata kiri Novel pun terjadi tak lama.
Baca: Tayang di Netflix, Camila Mendes Jadi Perempuan Kaya Raya di Film Dangerous Lies
Menurut Novel, apa yang disampaikan penasihat hukum kurang lebih merendahkan dan menyatakan dirinya bohong selama ini.
Namun, hakim kemudian menengahi bahwa yang dilakukan penasihat hukum pelaku untuk mencari fakta hukum dari kasus penyiraman air keras.
Baca: Kini Semua Pramugari Garuda Wajib Kenakan Masker
"Ini konteksnya untuk mencari fakta hukum. Jangan dibawa ke perasaan," kata hakim.
"Karena yang mulia, saya merasa ini tidak ada suatu empati terhadap korban," balas Novel.
Tak lama, hakim dan peserta sidang pun menyepakati pertanyaan soal kondisi mata kiri Novel Baswedan diubah dan tidak menyinggung soal softlens.
Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette bersama-sama telah melakukan penganiayaan berat kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan pada 11 April 2017 lalu.
Hal itu diungkapkan JPU saat membacakan surat dakwaan di sidang perdana dua terdakwa kasus penyiraman Novel Baswedan di Ruang Kusumah Atmadja, Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (19/3/2020).
Sidang ini dihadiri langsung oleh kedua terdakwa penyiraman Novel.
Dalam surat dakwaan, JPU mendakwa Pasal 355 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 351 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat.(Tribun Network/den/wly)