Surat Jokowi soal RUU Omnibus Law Cipta Kerja Digugat ke PTUN
Yang menjadi objek gugatan dalam PTUN ini adalah Surat Presiden yang dikirimkan kepada DPR pada 12 Februari 2020
Penulis: Gita Irawan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Advokasi untuk Demokrasi menggugat Surat Presiden (Surpres) kepada DPR pada 12 Februari 2020 terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Kamis (30/4/2020).
Sejumlah penggugat yang terdaftar antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah.
Baca: Akademisi UI Minta DPR Dengarkan Banyak Pihak Soal Omnibus Law
Hal tersebut disampaikan Kuasa hukum Tim Advokasi untuk Demokrasi Arif Maulana dalam diskusi daring terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Minggu (3/5/2020).
"Yang menjadi objek gugatan dalam PTUN ini adalah Surat Presiden yang dikirimkan kepada DPR pada 12 Februari 2020. Perlu diketahui bahwa Surpres ini memberikan kewenangan kepada Menko Perekonomian untuk kemudian melanjutkan proses pembentukan peraturan perundang-undangan dari tahapan yang awalnya perencanaan dan juga penyusunan dari pemerintah itu kemudian bisa dilanjutkan DPR RI masuk ke tahap pembahasan," kata Arif.
Arif mengatakan, Surpres tersebut digugat karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan bahkan Konstitusi.
Menurutnya, RUU tersebut disusun dengan mengabaikan prosedur yang telah jelas diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ia menjelaskan berdasaekan catatan Kode Inisiatif, sebanyak 27 dari 54 Putusan MK yang berkaitan dengan UU yang diubah oleh 'RUU Cilaka' tidak ditaati oleh Pemerintah dalam menyusun substansi RUU Cilaka yakni dengan tiga cara.
Pertama dengan tidak menindaklanjuti Tafsir Konstitusional dari Putusan MK.
Kedua dengan hanya menindaklanjuti sebagian Tafsir Putusan MK.
Ketiga dengan menghidupkan kembali pasal yang sudah dibatalkan oleh MK.
"Kita ingin sampaikan bahwa Surpres yang dikirimkan ke DPR itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan bertenangan dengan hukum tertinggi kita, Konstitusi," kata Arif.
Selain itu, RUU tersebut juga diniliai dibuat hanya untuk kepentingan investasi dengan menumbalkan rakyat dan lingkungan hidup.
Menurutnya jika sampai RUU ini disahkan dan diberlakukan dampak meluas dan sistematis terhadap kerusakan lingkungan hidup dan perampasan hak-hak rakyat diberbagai sektor, mulai dari buruh, petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, pers maupun kelompok rentan lainnya akan segera terjadi.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua MPR Arsul Sani menyebut hari ini dikabarkan akan mengirim surat presiden (surpres) terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.
"Ada kabar hari ini pemerintah menyerahkan surpres disertai naskah akademik dan RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja," ujar Arsul di komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Menurut Arsul, setelah DPR menerima surpres, maka pimpinan melakukan rapat internal dan kemudian dibawa Badan Musyawarah (Bamus) yang selanjutnya akan dibahas di komisi terkait.
"Tapi yang jelas, semua fraksi akan memberikan ruang kepada publik memberikan masukan. Jadi ruang konsultasi publiknya akan cukup besar lah," tutur Arsul.
Baca: PAN akan Tegaskan Sikap Politik soal Perppu Corona dan Omnibus Law dalam Rakernas
Arsul yang juga tercatat sebagai anggota Komisi III DPR menyebut pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dapat diselesaikan jika pasal-pasal tidak banyak menimbulkan kontroversi di masyarakat.
"Jadi dibaca dulu isinya apa? Kemudian respon masyarakat? Dua hal itu yang menentukan (cepat atau tidak)," papar Arsul.