Amnesty International Soroti Telegram Kapolri: Isinya Bisa Langgar Kemerdekaan Berpendapat
Amnesty Internasional Indonesia menyatakan, setidaknya ada 52 kasus yang dikategorikan pelanggaran kemerdekaan berpendapat.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia menyoroti telegram Kapolri Jenderal Idham Azis berkaitan penegakan hukum selama masa pandemi Covid-19.
Surat Telegram Kapolri yang berisi pedoman pelaksanaan tugas fungsi reskrim terkait kejahatan yang terjadi di ruang siber dan penegakan hukumnya selama masa wabah Covid-19 ditengarai bisa melanggar hak asasi manusia (HAM). Khususnya terkait kemerdekaan menyampaikan pendapat.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam Webinar "Covid-19 dan Dampaknya Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia," yang ditayangkan di Channel Youtube Amnesty Internasional Indonesia, Minggu (10/5/2020).
Baca: Unboxing Samsung Galaxy A31, Partner Seru untuk Bikin Konten-konten Live
"Masalah informasi yaitu kemerdekaan menyampaikan pendapat ini secara khusus kami soroti berkaitan dengan keputusan terbaru dari Kapolri," ujar Usman Hamid.
Baca: Luhut: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tertinggi Ketiga se-Asia
"Telegram yang menginstruksikan penggunaan langkah-langkah hukum terhadap orang-orang yang dianggap atau mengkritik pemerintah atau menyebarkan Informasi yang tidak benar dalam posisi meminta agar pemerintah tidak melakukan itu," ujar Usman Hamid.
Baca: Pola Makan Berbahan Nabati Bantu Cegah dan Obati Ragam Penyakit Berbahaya
Amnesty Internasional Indonesia menyatakan, setidaknya ada 52 kasus yang dikategorikan pelanggaran kemerdekaan berpendapat.
Itu sudah diverifikasi oleh Amnersty Internasional Indonesia ke lapangan.
Baca: Barack Obama: Cara Presiden Trump Tangani Pandemi Corona Sangat Berantakan
Dia mencontohkan, penahanan tiga mahasiswa Malang, yakni M. Alfian Aris Subakti, Achmad Fitron Fernanda Eka Arifin dan Saka Ridho April yang ditangkap oleh Polisi pada Minggu (19/4/2020) lalu.
Tuduhan aksi vandalisme terhadap ketiga mahasiswa itu dinilai tak berdasar secara hukum.
Sebab aksi mereka merupakan bentuk aspirasi warga negara.
Selain itu tiga mahasiswa itu aktif dalam aksi Kamisan Malang dan aktif dalam mengampanyekan dan mengadvokasi isu-isu di masyarakat wilayah Malang dan sekitarnya.
"Kasus yang paling menonjol di Polresta Malang. Mereka aktivis yang berlatar belakang pembela para petani itu juga ditangkap dan ada sejumlah warga juga. Yang bisa diverifikasi itu seluruhnya adalah 52 kasus yang betul kami kategorikan sebagai pelanggaran kemerdekaan berpendapat," ujarnya.
Amnesty Internasional Indonesia menegaskan sikapnya menolak penyebaran informasi yang bohong oleh siapapun.
Namun, dia mengkritik, pendekatan pemindanaan dan pemenjaraan oleh kepolisan di tengah pandemi Covid-19.
Apalagi pemerintah juga telah mengambil kebijakan asimilasi para narapidana di sejumlah rumah tahanan di Indonesia.
Karena itu menurut dia, telegram Kapolri itu bertentangan dengan sikap pemerintah membebaskan puluhan ribu tahanan demi menekan angka penyebaran Covid-19 di penjara.
"Tetapi pendekatan pemidanaan menggunakan menggunakan hukum pidana untuk menjerat mereka, menangkap, membawa mereka ke penjara," tegasnya.
"Rasanya tidak tepat. Apalagi pemerintah sendiri ketika itu mencoba mengikuti imbauan komisioner HAM PBB yang menyerukan kepada pemerintah di berbagai negara untuk mengendalikan penyebaran wabah di penjara," jelasnya.
Sebelumnya, dia juga melihat, pelaksanaan telegram itu, akan membuat banyak orang yang semula berniat memberi pendapat, justru takut bersuara karena ancaman hukuman.
"Tanpa saran dan kritik, pemerintah akan semakin kesulitan untuk mengetahui apa yang perlu diperbaiki dalam menangani wabah," ujar dia.
"Amnesty juga mendesak pemerintah untuk segera merevisi dan menghapus aturan-aturan yang dapat mengancam kebebasan berekspresi, terutama pasal-pasal karet yang terdapat dalam KUHP maupun UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)," Usman memungkasi.
Sebagaimana diketahui, Polri telah menerbitkan surat telegram pedoman pelaksanaan tugas terkait kejahatan yang terjadi di ruang siber dan tindak pidana atas penyebaran hoaks terkait informasi perihal Covid-19, penghinaan terhadap Presiden dan pejabat negara terkait kebijakan dalam penanganan wabah Covid-19, serta penipuan penjualan online alat-alat kesehatan yang terkait penanganan Covid-19.
Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1099/IV/HUK.7.1./2020 itu ditandatangani oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo pada 4 April 2020.
Telegram tersebut memerintahkan seluruh jajaran kepolisian untuk melakukan patroli siber untuk memantau perkembangan yang terjadi di dunia maya dan melakukan tindakan pidana untuk memberikan efek jera.
Disebutkan dalam telegram tersebut, bahwa pelaksanannya berpedoman pada Pasal 14 dan 15 UU No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan hukuman penjara maksimal tiga tahun; Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa negara.
Dengan hukuman penjara maksimal satu tahun enam bulan; Pasal 45A (1) juncto Pasal 28 (1) UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait penyebaran berita bohong dan menyesatkan, dengan hukuman penjara maksimal enam tahun; dan Pasal 96 UU No.6/2018 tentang Karantina Kesehatan, dengan hukuman penjara maksimal satu tahun.
Dari informasi yang dihimpun Amnesty International Indonesia, beberapa orang telah ditangkap oleh penegak hukum atas tuduhan penyebaran hoaks terkait Covid-19 dan mengkritik cara pemerintah bekerja dalam penanganan wabah ini.
Data Amnesty International Indonesia menunjukan bahwa hingga saat ini setidaknya terdapat sebanyak 13 orang yang ditangkap karena menyebarkan berita bohong dan menyesatkan terkait Covid-19.
Amnesty International Indonesia menjelaskan, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) dan Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR telah menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pendapat dalam segala jenis, intervensi, baik secara lisan atau tertulis, melalui media-media. (*)