Jokowi Naikkan Iuran BPJS, Ahli Usul Lebih Baik Perbaiki Pelayanan Dulu: Ada 3 Aspek Berbiaya Besar
Ahli Hukum Tata Negara dari UNS, Agus Riewanto mengatakan lebih baik Presiden Jokowi memperbaiki pelayanan dulu daripada menaikkan kembali iuran BPJS.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Agus Riewanto SH SAg MAg, menanggapi naiknya iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi.
Menurut Agus, dibanding menaikan iuran, seharusnya pemerintah lebih dulu melakukan perbaikan dalam struktur BPJS Kesehatan.
Seperti data kepesertaan BPJS Kesehatan yang masih perlu dibenahi.
Hal ini penting agar penerima realokasi anggaran BPJS Kesehatan tepat sasaran.
"Seharusnya pemerintah lebih dulu melakukan perbaikan-perbaikan yang jelas kepada publik."
"Karena selama ini data tentang kepesertaannya nggak jelas," tutur Agus kepada Tribunnews, Rabu (13/5/2020).
Baca: Jokowi Naikkan Lagi Iuran BPJS Setelah Dibatalkan, Ahli: Pemerintah Seakan Tidak Peduli Putusan MA
Selain itu, Agus menerangkan, pemerintah juga harus memperbaiki mengenai tata kelola pembiayaan BPJS Kesehatan.
Pasalnya, menurut Agus, ada tiga aspek kesehatan yang perlu diperbaiki karena berbiaya besar.
"Pemerintah harus memperbaiki tentang tata kelola dan pembiayan di tiga aspek yang biayanya besar selama ini," jelas Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS itu.
Menurutnya, tiga aspek tersebut di antaranya adalah persalinan, penyakit katarak, dan terapi medik.
Ia menjelaskan, selama ini biaya persalinan termasuk biaya yang paling tinggi di BPJS Kesehatan.
"Padahal yang namanya orang melahirkan itu posisinya tidak sakit."
"Selama ini diamsumsikan orang melahirkan ini sakit padahal proses alamiah, kecuali operasi caesar," tambahnya.
Baca: Ahli Hukum Tata Negara Soroti Langkah Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan: Anomali di Tengah Pandemi
Aspek kedua yang disoroti Agus adalah mengenai penyakit katarak.
Menurutnya, penyakit katarak bisa dikategorikan bukan sakit berat yang biayanya harus ditanggung pemerintah.
"Kalau dilihat dari aspek tertentu sebenarnya orang katarak ini sakit alamiah."
"Bukan sakit berat yang harus ditanggung pemerintah, itu besar nilainya," papar Agus.
Lebih lanjut, aspek ketiga yang disebut Agus adalah soal terapi medik.
"Terapi medik itu juga tinggi nilainya, terapi harusnya dibatasi, padahal terapi itu buat penyembuhan," ucapnya.
Baca: Jika Masyarakat Keberatan, Ahli Usulkan Naiknya Iuran BPJS di Tengah Pandemi Diuji Kembali ke MA
Oleh karena itu, menurut Agus, ketiga aspek ini harus ada batasan dan aturan yang lebih jelas karena menelan biaya tinggi di BPJS Kesehatan.
Lebih lanjut, Agus juga mengatakan, pemerintah harus lebih tegas mengenai peserta mandiri BPJS yang berpenghasilan dibawah rata-rata UMP.
Agus menerangkan, kelompok tersebut harus dijadikan Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Padahal ada kelompok rentan yang penghasilannya dibawah rata-rata UMP harus dikategorikan sebagai kelompok khusus."
"Jadi tidak semua orang harus diwajibkan iuran karena ada yang tidak mampu," sambungnya.
Rincian kenaikan BPJS
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Corona.
Kenaikan ini diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kebijakan pun didorong oleh Jokowi pada Selasa (5/5/2020) lalu.
Kenaikan ini khususnya bagi peserta mandiri yang terdiri dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang diatur dalam Pasal 34.
Kenaikan pun mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.
Berikut rincian kenaikan untuk peserta mandiri kelas I, II dan III:
- Kelas I: Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000
- Kelas II: Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000
- Kelas III: Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000
Untuk kelas III, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500.
Sehingga yang dibayarkan oleh masyarakat tetap Rp 25.500.
Kendati demikian, pada 2021 mendatang subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000.
Oleh karenanya, masyarakat harus membayar kelas III senilai Rp 35.000.
(Tribunnews.com/Maliana)