Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kritik New Normal, Sosiolog: Hanya Menghaluskan Kata Pelonggaran PSBB

Seorang Sosiolog mengkritik sikap pemerintah yang menjadikan new normal sebagai kebijakan, sehingga tak bisa dikatakan dimulai sejak 1 Juni mendatang.

Penulis: Febia Rosada Fitrianum
Editor: Daryono
zoom-in Kritik New Normal, Sosiolog: Hanya Menghaluskan Kata Pelonggaran PSBB
TRIBUN/SETPRES/AGUS SUPARTO
Seorang Sosiolog mengkritik sikap pemerintah yang menjadikan new normal sebagai kebijakan, sehingga tak bisa dikatakan akan dimulai sejak 1 Juni mendatang. 

TRIBUNNEWS.COM - Sosiolog Universitas Tanjungpura Pontianak, Viza Juliansyah mengungkapkan penerapan new normal oleh pemerintah bukanlah suatu kebijakan.

Melainkan hanya menghaluskan kata dari pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.

Hal tersebut disampaikan dalam video yang diunggah di kanal YouTube Kompas TV, Jumat (29/5/2020).

Baca: Antisipasi Terjadinya Gelombang Kedua setelah New Normal Diterapkan, Ini Saran Pakar Epidemiologi

Viza menuturkan, new normal tidak termasuk ke dalam suatu kebijakan.

New normal memiliki definisi sebagai suatu situasi yang terjadi dari sebuah proses.

Sehingga pemerintah tidak bisa menetapkan sendiri mulai kapan new normal akan berlaku atau terjadi.

Sosiolog Universitas Tanjungpura Pontianak, Viza Juliansyah mengungkapkan penerapan new normal oleh pemerintah bukanlah suatu kebijakan melainkan hanya menghaluskan kata dari pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.
Sosiolog Universitas Tanjungpura Pontianak, Viza Juliansyah mengungkapkan penerapan new normal oleh pemerintah bukanlah suatu kebijakan melainkan hanya menghaluskan kata dari pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. (Tangkap layar kanal YouTube Kompas TV)

Seperti yang diketahui, di mana pemerintah berencana akan menerapkan new normal per Senin (1/6/2020).

Berita Rekomendasi

Pemerintah menetapkan ada sebanyak empat provinsi serta 25 kabupaten dan kota yang akan menerapkan new normal.

Yakni seperti Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Gorontalo, dan Sumatera Barat.

Padahal menurut Viza, new normal harus berdasarkan pada kesepakatan dari masyarakat.

"New normal sendiri bukanlah sebuah kebijakan, new normal itu adalah sebuah situasi yang terjadi dari sebuah proses," terang Viza.

"Artinya kita tidak bisa mengatakan new normal kita mulai sejak 1 Juni, misalnya seperti itu."

"Karena ini sebuah proses di mana harus disepakati secara langsung atau tidak oleh masyarakat," tambahnya.

Baca: Memasuki New Normal, Notaris Butuh Adaptasi dan Dukungan Regulasi dari Pemerintah

Baca: Anggota DPR Nilai Pesantren Perlu Perhatian Khusus dari Pemerintah di Masa New Normal

Kemudian dalam kesempatan itu, Viza menyampaikan kritiknya terkait penerapan new normal.

Viza menjelaskan, new normal bukanlah bagian dari sebuah kebijakan.

Sementara pemerintah sekarang seakan-akan mengeluarkan kebijakan untuk menerapkan new normal.

Bagi Viza, penerapan new normal hanyalah mengganti beberapa kata seperti pelonggaran PSBB dan istilah lainnya agar lebih bisa diterima.

"Yang menjadi kritik dari saya atau mungkin beberapa pihak adalah sekarang new normal akan sebuah kebijakan," ungkap Viza.

"Kebijakan yang menghaluskan kata pelonggaran dari PSBB, lockdown, atau lainnya," pungkasnya.

Di lain kesempatan, seorang pakar epidemiologi memberikan beberapa indikator untuk menerapkan new normal di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh ahli Epidemiologi FKM UI, Pandu Riono dalam video yang diunggah di kanal YouTube Kompas TV, Sabtu (30/5/2020).

Pandu menyebutkan, indikator ilmiah yang menentukan suatu daerah sudah bisa melakukan new normal adalah dengan melihat angka reproduksi.

Angka itu bisa didapatkan apabila memiliki data yang akurat dari pemerintah.

Baca: Update Virus Corona 30 Mei 2020: Total Kasus 25.773, 7.015 Sembuh, 1.573 Meninggal Dunia

Baca: Pemprov DKI Sedang Susun Aturan New Normal di Bidang Pariwisata dan Hiburan

Meski demikian, Pandu juga memiliki tiga indikator lainnya untuk menerapkan new normal.

Yakni dengan menggunakan parameter epidemiologi, kesehatan publik, serta kesiapan layanan kesehatan.

Dalam parameter epidemiologi, Pandu menjelaskan ada tiga komponen yang harus diperhatikan.

Seperti jumlah penurunan kasus positif virus Covid-19 dalam tiap harinya.

Pakar Epidemiologi FKM UI, Pandu Riono mengungkapkan terdapat beberapa indikator dalam penerapan new normal di Indonesia.
Pakar Epidemiologi FKM UI, Pandu Riono mengungkapkan terdapat beberapa indikator dalam penerapan new normal di Indonesia. (YouTube Kompas Tv)

Diikuti dengan penurunan jumlah pasien dalam pengawasan atau PDP.

Hingga penurunan angka kematian yang dihitung selama dua minggu.

Pandu mengatakan, yang terpenting dalam keinginan penerapan new normal adalah indikator tersebut harus secara konsisten menurun.

"Dan indikator epidemiologi ada tiga komponen yang bisa kita cermati," jelas Pandu.

"Yaitu penurunan kasus Covid, penurunan PDP, dan penurunan kematian selama dua minggu."

Baca: Tanggapan PDIP hingga DPRD saat Tahu Risma Marah, Kisruh 2 Mobil PCR di Jawa Timur

Baca: Menteri Agama Terbitkan Panduan Pembukaan Tempat Ibadah saat New Normal, Ini Syaratnya

"Yang penting konsisten menurun terus, jangan naik," imbuhnya.

Selanjutnya, pemerintah dan pihak terkait harus gencar dalam melakukan pemeriksaan.

Pandu menuturkan, jumlah pengecekan setiap harinya tidak boleh menurun.

Terlebih ketika pelonggaran diterapkan, pemeriksaan tetap harus dilaksanakan.

Dalam melakukan pemeriksaan atau tes, juga harus dilaksanakan tracing.

Ratusan warga mengikuti rapid test dan swab test Covid-19 massal gratis yang digelar Pemkot Surabaya bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) RI, di halaman Gedung Siola, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (29/5/2020). Mereka yang mengikuti tes Covid-19 tersebut merupakan warga yang telah ditentukan sebelumnya. Tidak hanya orang dewasa, namun juga anak kecil dan lansia turut menjadi peserta. Surya/Ahmad Zaimul Haq
Ratusan warga mengikuti rapid test dan swab test Covid-19 massal gratis yang digelar Pemkot Surabaya bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) RI, di halaman Gedung Siola, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (29/5/2020). Mereka yang mengikuti tes Covid-19 tersebut merupakan warga yang telah ditentukan sebelumnya. Tidak hanya orang dewasa, namun juga anak kecil dan lansia turut menjadi peserta. Surya/Ahmad Zaimul Haq (Surya/Ahmad Zaimul Haq)

Tidak hanya itu, Pandu juga memberikan imbauan perihal perilaku masyarakat Indonesia.

Di mana harus selalu menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker dan mencuci tangan.

Pandu menyampaikan protokol kesehatan harus selalu dipatuhi agar pencegahan kasus bisa terlaksana.

"Kesehatan publik adalah pelayanan testing tidak boleh menurun, harus siap," tutur Pandu.

"Bahkan saat pelonggaran tidak boleh menurun dibarengi dengan pelacakan kasus."

Baca: Kronologi Lengkap Kemarahan Risma Akibat Mobil Lab PCR dari BNPB Justru Dialihkan ke Kota Lain

Baca: Pemerintah Izinkan 102 Kabupaten Kota Zona Hijau Covid-19 Terapkan New Normal

"Perilaku penduduk yang menggunakan masker, cuci tangan, harus dilihat dan gencar agar patuh melakukan upaya pencegahan," lanjutnya.

Indikator yang terakhir, adalah kesiapan layanan kesehatan selama penerapan new normal.

Hal ini dijadikan parameter agar ada persiapan kemungkinan terjadi gelombang kedua virus Covid-19.

Meskipun semua lapisan masyarakat berharap itu tidak akan terjadi di Indonesia.

Namun apabila memang terjadi, Pandu menyarankan layanan kesehatan sudah memenuhi sejumlah kebutuhan yang memadai.

Seperti adanya alat pelindung diri atau APD dengan jumlah yang cukup juga alat seperti ventilator, yang membantu pernapasan bagi pasien Covid-19 harus tersedia.

Terakhir adalah jumlah tenaga medis atau dokter yang memadai.

Pandu menghimbau jangan sampai terjadi kekurangan tenaga medis di kemudian hari saat penerapan new normal.

"Kesiapan layanan kesehatan, karena kita harus mengantisipasi kemungkinan ada gelombang kedua," ungkap Pandu.

"Yang kita harapkan tentu tidak terjadi, tapi kalau terjadi layanan kesehatan kita siap APD harus ada dan cukup."

"Kedua adalah ventilator dengan jumlah cukup memadai, ketiga adalah jumlah dokter memadai, jangan sampai kekurangan," tandasnya.

(Tribunnews.com/Febia Rosada)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas