Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Singgung Pelengseran Soekarno dan Gus Dur, Refly Harun: Jangan Ada Lagi Presiden yang Dijatuhkan

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapannya terkait ancaman teror dalam diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
zoom-in Singgung Pelengseran Soekarno dan Gus Dur, Refly Harun: Jangan Ada Lagi Presiden yang Dijatuhkan
Kolase (KOMPAS.com / Agus Susanto) dan (Istimewa via Tribunnews.com)
Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (kiri) dan Presiden pertama RI sekaligus Bapak Proklamator Ir. Soekarno (kanan). 

TRIBUNNEWS.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapannya terkait ancaman teror dalam diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Hal itu diungkapkan Refly dalam Webinar Nasional bertajuk Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/2020).

Refly Harun mengatakan, dalam era reformasi, masih ada pihak yang sulit membedakan antara wacana dan gerakan.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan kekhawatiran pada sistem pemerintahan ke depannya. Yakni mengarah ke jurang otoritarianisme.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan kekhawatiran pada sistem pemerintahan ke depannya. Yakni mengarah ke jurang otoritarianisme. (YouTube Refly Harun)

Padahal, antara wacana dan gerakan merupakan dua hal yang berbeda.

Wacana hanya sebatas membahas mekanisme pemberhentian presiden.

Sementara gerakan lebih kepada tindakan kelompok besar untuk memberhentikan presiden.

"Jadi orang kadang-kadang men-judgement sesuatu padahal sesuatu itu adalah wacana, dan wacana itu bahkan wacana akademik," ungkap Refly, seperti dikutip dari kanal YouTube-nya, Refly Harun, Selasa (2/6/2020).

Berita Rekomendasi

Refly menegaskan, pembahasan mengenai pemakzulan atau impeachment presiden tidak bisa dilarang.

Sebab, impeachment diatur dalam konstitusi, yakni dalam UUD 1945 Pasal 7A.

Baca: Refly Harun: Bedakan Diskusi dan Gerakan Pemberhentian Presiden

"Kalau kita tidak boleh membicarakan tentang pemakzulan atau impeachment ya buang saja ayat-ayat konstitusi Pasal 7A, yang mengatakan proses pemberhentian presiden yang mengatakan syarat-syarat untuk memberhentikan presiden," ungkap Refly.

Dia menjelaskan, dengan adanya pasak impeachment tersebut, maka sah saja kalau mendisukusikan hal-hal terkait pemberhentian presiden dan wakil presiden.

Namun, lanjut dia, hal itu harus dibedakan dengan gerakan.

"Kalau gerakan lain lagi masalahnya, dalam hal ini saya harus menggarisbawahi tiga hal tentang gerakan."

"Gerakan yang sifatnya konstitusional, gerakan inkonstitusional, gerakan yang ekstrakonstitusional," jelas Refly.

Baca: Seminar Pemakzulan Presiden Dibatalkan, Refly Harun Soroti Kebebasan Berpendapat: Ada Suasana Horor

Lebih lanjut Refly menjelaskan terkait gerakan konstitusional dan inkonstitusional

Gerakan konstitusional adalah gerakan warga negara yang menginginkan presiden diberhentikan.

Yakni tindakan sekelompok orang yang mendatangi DPR untuk menyatakan alasan-alasan mengapa presiden harus berhenti.

Kelompok tersebut juga mendorong DPR untuk menggelar hak angket.

Sementara gerakan inkonstitusional adalah tindakan kelompok besar yang menggalang kekuatan besenjata kemudian membuat taktik memecah belah, disintegrasi.

Baca: Refly Harun Buka Suara soal Narasumber di Balik Diskusi Pemecatan Presiden: Memang Tidak Aneh-aneh

Maka sesuai dengan KUHP, tindakan tersebut merupakan makar.

Refly mengungkapkan, membahas mengenai impeachment presiden sama saja membahas mengenai fakta sejarah.

Pasalnya, dalam sejarah, di Indonesia telah terjadi impeachment terhadap presiden sebanyak dua kali.

Pertama, pemakzulan yang dilakukan terhadap Presiden Soekarna pada 1967.

Kedua, pemakzulan terhadap presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada 2001.

"Saya berharap tidak ada lagi cerita presiden dijatuhkan di tengah jalan."

"Kenapa begitu? Karena maksud kita mengubah konstitusi agar tidak terjadi lagi peristiwa Bung Karno tahun 1967 dan peristiwa Abdurahman Wahid 2001 yang dijatuhkan dengan subjektifitas politik," ungkapnya.

Baca: Akui Kecewa ke Jokowi, Refly Harun Singgung Ekonomi saat Corona: Kok seperti Tidak Punya Uang Lagi?

Seperti diketahui, pembahasan mengenai pembehentian presiden mencuat setelah Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) hendak menggelar diskusi tentang 'Pemberhentian Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.

Namun, diskusi tersebut terpaksa harus dibatalkan setelah pihak penyelenggara dan narasumber mendapat ancaman jika diskusi yang diagendakan tersebut tetap dilanjutkan.

Alasannya, tema diskusi tersebut dianggap politis oleh sejumlah pihak.

Simak video lengkapnya:

(Tribunnews.com/Nanda Lusiana)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas