Soal Kasus Jiwasraya, Ekonom Sebut Penyelamatan Dana Nasabah Jadi Prioritas Utama
Prof. Dr. Anthony Budiawan menilai kasus PT Asuransi Jiwasraya merupakan salah satu bukti kejahatan pasar modal.
Editor: Hasanudin Aco
Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) akhirnya sampai pada tahap persidangan. Keenam terdakwa menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, Rabu (3/6/2020).
Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para terdakwa hadir dalam sidang tersebut dengan menggunakan masker dan face shield.
Dikutip dari Kompas.com, para terdakwa terdiri dari Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.
Kemudian, tiga mantan petinggi di Jiwasraya, yakni mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, serta mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.
Dalam perkara ini, terdapat 50 jaksa penuntut umum (JPU). Mereka dibagi dalam enam tim untuk masing-masing terdakwa.
JPU berasal dari Direktorat Penuntutan Jampidsus Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Kerugian negara
Dalam pembacaan dakwaan, JPU tak membacakan berkas masing-masing terdakwa.
Perwakilan JPU hanya membacakan berkas dakwaan Heru Hidayat karena dianggap telah mewakili semua terdakwa. Berkas dakwaan itu setebal 202 halaman.
Keenamnya didakwa merugikan negara sebesar Rp 16,8 triliun seperti laporan penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Akibat perbuatan terdakwa Heru Hidayat bersama-sama dengan Benny Tjokrosaputro, Joko Hartono Tirto, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 16.807.283.375.000,” seperti dikutip dari surat dakwaan.
Mereka didakwa melakukan kesepakatan dalam pengelolaan investasi saham dan reksadana yang tidak transparan dan akuntabel selama 2008 hingga 2018.
Kemudian, menurut jaksa, analisis yang dilakukan dalam pengelolaan investasi saham serta reksadana tersebut hanya sebuah formalitas.
Ketiga mantan petinggi Jiwasraya juga disebut melanggar ketentuan dalam Pedoman Investasi saat membeli saham BJBR, PPRO, dan SMBR.