Tanggapi Pendapat Rizal Ramli soal 'Presidential Threshold', Fadli Zon: Yang Terbaik Nol Persen
Anggota DPR Fadli Zon memberi tanggapan atas pendapat Mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Rizal Ramli soal ambang batas pencalonan presiden
Penulis: Daryono
Editor: Ifa Nabila
TRIBUNNEWS.COM - Anggota DPR Fadli Zon memberi tanggapan atas pendapat Mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Rizal Ramli soal ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
Dalam postingan di akun twitternya, Rizal Ramli mendukung upaya Rocky Gerung dan Dosen Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar yang akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait ketentuan ambang batas pencalonan presiden.
"Saya dukung upaya tersebut. Threshold itu pada hakekatnya alat bagi oligarki untuk mempertahankan kekuasaaanya. Mereka tidak menghendaki putra putri terbaik bangsa menjadi pemimpin," demikian pernyataan Rizal Ramli.
Selain itu, Rizal Ramli juga menyebut PT menjadi 'sekrup meperasan', alat untuk memaksa calon bupati/walikota membayar Rp 10 miliar-50 miliar, gubernur Rp 50 miliar-Rp 200 miliar, dan presiden Rp 1 triliun-Rp 1,5 triliun upeti kepada partai-partai.
Rizal menyebut hal itu sebagai basis demokrasi kriminal.
Menanggapi cuitan Rizal Ramil, Fadli Zon memberi tanggapan.
Baca: Ikutan Posting Foto Wisuda SMA, Fadli Zon Pamer Nilai Tertinggi dan Lulus dengan Summa Cum Laude
Mantan Wakil Ketua DPR RI itu menilai, ambang batas pencalonan sebaiknya memang nol persen.
Namun, jika harus dibatasi, ia mengusulkan sebesar 10 persen.
Hal itu agar lebih banyak calon yang bisa dipilih oleh rakyat.
"Menurut sy yg terbaik presidential threshold nol persen, tp kalau harus ada pembatasan ya maksimum 10 persen. Agar lebih banyak pilihan di meja hidangan demokrasi," tulis Fadli Zon, Selasa (9/6/2020).
Untuk diketahui, RUU Pemilu saat ini sedang dibahas oleh DPR.
RUU Pemilu itu di antaranya mengatur soal ambang batas presiden.
Dalam UU Pemilu saat ini, ambang batas pencalonan Presiden ditetapkan sebesar 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
Jika tidak memenuhi syarat dukungan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional, maka calon presiden tidak bisa maju dalam Pilpres.
Target Revisi UU Pemilu
Komisi II DPR RI menargetkan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selesai di akhir tahun 2020 atau paling lambat awal tahun 2021.
" RUU Pemilu ini penting kenapa kita bahas lebih awal. Dengan harapan, kita ingin selesai di akhir 2020. Kalaupun telat, kita ingin di awal 2021 ini sudah selesai," kata Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa dalam diskusi daring, Minggu (7/6/2020) sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Pembahasan yang lebih cepat dinilai akan memberikan kepastian hukum bagi para pemangku kepentingan, misalnya partai politik.
Harapan lainnya, agar tersedia waktu untuk sosialisasi mengenai pelaksanaan pemilu.
"Karena pengalaman-pengalaman sebelumnya, RUU Pemilu itu selalu dibahas dan diputuskan jelang dekat-dekat pemilu, kita tidak mau hal ini kembali terulang," ujar Saan.
Baca: Mahfud MD : Tak Ada Gung Ngekick Fadli Zon
Kemudian, revisi UU tersebut juga dinilainya penting karena menggambarkan sistem politik dan demokrasi di Indonesia ke depannya.
Dalam prosesnya, Saan menuturkan, Komisi II DPR sedang menyiapkan naskah akademik serta draf RUU Pemilu.
Menurut dia, Komisi II telah beberapa kali bertemu Badan Keahlian DPR untuk membahas draf RUU Pemilu.
Pada pertemuan terakhir di 6 Mei 2020, disepakati bahwa setiap fraksi akan menyampaikan pendapatnya secara tertulis kepada Komisi II paling lambat Senin (8/6/2020) besok.
"Disepakati bahwa kita akan melanjutkan dengan meminta pendapat fraksi masing-masing secara tertulis yang paling lambat tanggal 8 besok dikirim ke Komisi II," tutur Saan. "Untuk disempurnakan lagi menjadi draf yang akan kita kirim ke Badan Legislasi untuk diharmonisasi," imbuh dia.
(Tribunnews.com/Daryono) (Kompas.com/Devina Halim)