Pembahasan Ambang Batas Parlemen Tujuh Persen Desain Menuju Oligarki Partai
Adapun fraksi mengusulkan agar ambang batas parlemen tetap 4 persen, tetapi ada juga yang mengusulkan agar naik jadi 5 persen dan 7 persen
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR RI melalui Komisi II akan membahas revisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Saat ini, setidaknya ada lima isu klasik yang selalu muncul dalam pembahasan RUU Pemilu.
Salah satunya yaitu, tentang ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT).
Adapun fraksi mengusulkan agar ambang batas parlemen tetap 4 persen, tetapi ada juga yang mengusulkan agar naik jadi 5 persen dan 7 persen.
Menanggapi hal itu, Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, usulan itu bukan hanya membuat parpol kecil yang protes. Namun, elemen CSO juga menyatakan sikap yang sama.
Baca: Ketua Komisi II DPR Targetkan Revisi UU Pemilu Rampung Pertengahan 2021
Menurut Ray, kenaikan PT ini menuju desain pengekalan oligarki partai dan sekarang menuju oligarki antar partai.
"Skenario ini dibuat secara sistematik. Dengan begitu, jika tak dirunut maka skenario ini tak akan terlihat dengan jelas," kata Ray dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Rabu (10/6/2020).
Padahal, kata Ray, sejak dari UU pendirian partai politik, skenario pengentalan oligarki partai ini sudah jelas tercipta.
Dimulai dari sarat pendirian parpol, yang dibedakan dengan sarat keikutsertaan partai politik dalam pemilu.
Keberadaan 100 persen partai di seluruh propinsi dengan 75 persen berada di kabupaten/kota dari seluruh Indonesia menunjukan ketakutan partai lama akan munculnya kekuatan baru sebagai pesaing.
Lalu, dapil dibuat dengan jumlah kursi yang menguntungkan oartai-partai lama. Skenario 3-8 kursi perdapil akan berimplikasi pada perolehan kursi untuk partai-partai besar.
"Ujungnya ada pada persyaratan PT ini. Jika pilihannya PT sampai 7 persen misalnya, kemungkinan besar partai politik di parlemen tidak akan lebih dari 3 partai politik," ucap Ray.
Ia menduga strategi ini sebenarnya karena parpol-parpol lama yang terlanjur besar takut kehilangan suara dan beralihnya pemilih ke parpol baru.
"Tanpa prestasi dan kepedulian pada aspirasi publik, tak mustahil mereka akan ditinggalkan pemilih. Dan sebelum itu terjadi, maka dihadanglah kekuatan baru, dan pada saat yang sama mereka tetap bisa eksis tanpa saingan berarti," jelasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.