Salat Jumat Dibagi ’Ganjil-Genap’ Diatur Berdasar Nomor Ponsel
Cholil Nafis menilai imbauan dari DMI soal salat Jumat merupakan bagian dari pengaturan beribadah saja.
Penulis: Dodi Esvandi
Editor: Hendra Gunawan
*Antisipiasi Penurunan Kapasitas Masjid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengeluarkan surat edaran mengenai pelaksanaan salat Jumat dalam dua gelombang.
Dalam edaran itu, DMI menganjurkan masjid yang memiliki jumlah jemaah banyak hingga membludak ke jalan untuk menggelar salat Jumat dalam dua gelombang, yaitu gelombang pertama pada pukul 12.00 dan gelombang kedua pada pukul 13.00.
Untuk pengaturan pembagian jemaahnya, DMI menyarankan dilakukan berdasarkan
angka terakhir pada nomor ponsel jemaah berkategori ganjil atau genap.
Teknisnya, apabila hari Jumat bertepatan dengan tanggal ganjil, maka jamaah yang memiliki nomor ponsel berakhiran ganjil melaksanakan salat Jumat pada gelombang pertama, yaitu sekitar jam 12.00.
Sedangkan jemaah bagi yang memiliki nomor berakhiran genap, mendapat kesempatan salat pada gelombang kedua sekitar pukul 13.00.
Begitu pula sebaliknya.
Selain mengatur pelaksanaan salat Jumat berdasarkan angka terakhir pada nomor
ponsel, edaran tersebut juga mengatur pelaksanaan salat Jumat di kantor atau gedung
bertingkat.
Baca: Dewan Masjid Indonesia Terbitkan Edaran Salat Jumat Dua Gelombang Berdasarkan Ganjil Genap Nomor HP
Baca: Dewan Masjid Indonesia Terbitkan Aturan Salat Jumat 2 Gelombang, Ini Rinciannya
Baca: Suasana Salat Jumat Pertama di Lingkungan Kemendagri Jalankan Protokol Covid-19
Dalam surat tersebut, DMI mengatakan bahwa salat Jumat dapat
dilaksanakan berdasarkan pengaturan lantai.
"Contoh gedung bertingkat 20 lantai, maka gelombang/sif pertama adalah lantai 1-10 dan gelombang/shift kedua adalah lantai 11-20," bunyi edaran itu.
Sekretaris Jenderal DMI, Imam Addaruqutni, mengatakan, latar belakang
dikeluarkannya edaran itu berdasarkan pengamatan dan evaluasi dua kali salat Jumat
yang dilakukan di masjid-masjid kota besar, khususnya Jakarta.
Dari fakta lapangan, DMI menemukan fakta bahwa dengan adanya ketentuan jaga jarak 1 meter antar jamaah, berimbas pada penurunan daya tampung masjid.
Karena adanya jaga jarak itu juga, banyak jamaah yang akhirnya salat di halaman
masjid hingga ke jalan raya. Hal ini dikhawatirkan justru tidak steril dan ada risiko
penularan Covid-19.
"Pak JK (Jusuf Kalla, Ketua Umum DMI, red) berpikir lebih detail dan praktis terkait pengaturan pelaksanaan ibadah Jumat dua gelombang, dengan di
antaranya mengajak para DKM/Ta'mir untuk mempertimbangan pola ganjil genap
sebagaimana SE tersebut," kata Imam.
JK membenarkan ucapan Imam itu. Ia mengaku punya sejumlah pertimbangan dalam
menerbitkan edaran mengenai pelaksanaan salat Jumat dalam dua gelombang dengan
aturan ganjil genap berdasarkan nomor ponsel.
JK menyebut aturan ganjil genap diterbitkan setelah pihaknya memantau pelaksanaan salat Jumat di sejumlah daerah dalam dua pekan terakhir. Menurutnya, kapasitas masjid menjadi terbatas karena pemberian jarak pada saf salat.
"Kalau kapasitas masjid katakanlah 1.000 orang. Kalau dilonggarkan satu meter maka berarti, sisa kapasitas [masjid] 40 persen, sisa 400 [jemaah], ke mana 600 ini salat Jumat? Maka, akibatnya orang salat sekali, di jalan," kata JK di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Rabu (17/6).
JK mengatakan, saat kapasitas masjid penuh karena pemberian jarak, jemaah terpaksa
melaksanakan salat di halaman masjid hingga ke jalan raya. Kondisi tersebut, kata JK,
justru berbahaya bagi jemaah terpapar virus corona.
"Paling berbahaya di jalan. Karena bisa saja orang di jalan itu dia batuk atau meludah di suatu tempat, dibawa oleh mobil. Dia salat di jalan, maka sajadahnya tertular, dia bawa pulang sajadahnya di rumah, orang rumahnya bisa kena," ujarnya.
Oleh karena itu, JK mengatakan DMI telah mengusulkan salat Jumat digelar dengan
bergelombang atau dua sif. Menurutnya, usulan tersebut juga telah disetujui Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
"Itu solusinya harus dua sif, dan itu sudah disetujui oleh majelis ulama, yang keputusan boleh satu kali, boleh dua kali, dan itu secara agama sudah kita
bicarakan, bisa," katanya.
JK menyebut pembagian sif Salat Jumat menjadi dua gelombang adalah sebuah cara
agar umat Islam bisa beribadah dengan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Menurutnya, terdapat masjid yang menggelar salat Jumat masih tak memberikan jarak
saf.
Wakil presiden ke-12 RI itu mengatakan usulan pembagian sif tersebut juga untuk
mengantisipasi masjid penuh saat menggelar salat Jumat.
JK pun memastikan pelaksanaan salat Jumat dua gelombang dengan aturan ganjil genap tergantung pengurus masjid masing-masing.
"Itu hanya cara, tidak mungkin (dipaksakan). Kita berdosa kalau tidak memberikan kesempatan orang Salat Jumat," ujarnya.
Tanggapan MUI
Di sisi lain Ketua Bidang Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis menilai imbauan dari DMI
soal salat Jumat merupakan bagian dari pengaturan beribadah saja.
Ia pun mempersilakan masyarakat salat Jumat dua gelombang dengan sistem ganjil genap berbasis nomor ponsel tersebut.
"Ya bagian dari pengaturan. Mau ikutin fatwa model dua gelombang silakan," ujar Cholil, Rabu (17/6).
Meski begitu, Cholil meminta masyarakat lebih baik tetap melakukan salat Jumat
dengan satu gelombang.
Masyarakat, menurut Cholil dapat memanfaatkan ruangan selain masjid untuk salat Jumat.
Cholil menilai penggunaan nomor ponsel dalam menentukan jemaah yang bisa salat
jumat justru dapat membuat kapasitas masjid menjadi berlebihan. Selain itu, Cholil
menilai tidak semua orang memiliki ponsel.
"Karena mungkin tak semuanya orang punya satu nomor telepon. Kalau punya nomor telepon, lalu yang didaftarkan adalah daftar yang genap atau ganjil, akhirnya kan bisa overload," tutur Cholil.
Baginya, imbauan DMI tersebut sah-sah saja untuk dilaksanakan. Cholil mengatakan
saat ini MUI sendiri masih memiliki dua pendapat terkait pelaksanaan salat Jumat
secara bergelombang.
"Jadi silakan sebagai bagian dari tata cara, teknis. Sah-sah saja, MUI masih punya dua pendapat," kata Cholil.(tribun network/fah/fat/dod)