Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Soal Laut China Selatan, Prabowo Ajak Negara ASEAN Untuk Jaga Kawasan Agar Tidak Jadi Medan Perang

Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto telah berupaya menjalin komunikasi dengan sejumlah pihak untuk meredam konflik di Laut China Selatan.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Soal Laut China Selatan, Prabowo Ajak Negara ASEAN Untuk Jaga Kawasan Agar Tidak Jadi Medan Perang
Gita Irawan
Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto di Kantor Kementerian Pertahanan RI Jakarta Pusat pada Selasa (3/12/2019). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto telah berupaya menjalin komunikasi dengan sejumlah pihak untuk meredam konflik di Laut China Selatan.

Juru Bicara Menteri Pertahanan RI tersebut mengatakan bila Prabowo Subianto telah berkomunikasi dengan sejumlah Menteri Pertahanan di Asia Tenggara khususnya negara anggota ASEAN menyikapi memanasnya situasi keamanan di Laut China Selatan.

Ia berharap wilayah ASEAN tidak dijadikan sebagai medan perang terkait konflik di Laut China Selatan belakangan ini.

Dahnil Anzar mengatakan upaya diplomasi pertahanan serupa juga tidak hanya dilakukan kepada negara-negara di kawasan Asia Tenggara anggota ASEAN.

Baca: 3 Kapal Induk AS yang Bawa Ratusan Jet Tempur F-18 Tiba di Laut China Selatan

Prabowo juga melakukan langkah diplomasi dengan negara-negara yang sedang bersitegang di kawasan Laut China Selatan yakni China dan Amerika.

Dahnil mengatakan dalam upaya diplomasi pertahanan tersebut pada intinya Prabowo mengajak semua negara untuk membangun collective security system (sistem keamanan kolektif) di kawasan Asia Tenggara.

Berita Rekomendasi

"Jadi kita membangun solidaritas di satu sisi, di sisi lain kita juga memastikan pertahanan negara-negara itu kuat .Walaupun kita paham juga negara-negara kawasan punya keterkaitan dengan negara-negara yang sedang berkonflik. Tapi kita juga terus mengajak supaya jangan sampai kawasan kita itu jadi battle ground (medan perang). Sehingga yang dibangun itu tadi, collective securty sistem," kata Dahnil dalam diskusi Forum Monitor Seri 4 yang diselenggarakan Monitor.id secara virtual. Kamis (18/6/2020).

Baca: AS Terbangkan Pesawat Pembom dan Drone Pengintai ke Laut China Selatan

Dahnil mengatakan dalam upaya diplomasi pertahanan tersebut, Indonesia tidak menggunakan sudut pandang balance of power atau keseimbangan kekuatan.

Karena menurut Dahnil perspektif balance of power tersebut akan memunculkan persaingan kekuatan bukan solidaritas dan perdamaian sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang.

"Beberapa hari ke depan juga beliau (Prabowo) akan bicara dengan banyak menteri-menteri pertahanan itu dalam rangka membangun collective security system. Jadi yang dibangun itu atmosfirnya adalah solidaritas, yang dibangun itu adalah perdamaian," kata Dahnil.

Baca: Kepala Bakamla Aan Kurnia: Masalah di Laut China Selatan Punya Potensi Konflik dengan Indonesia

Dahnil juga mengatakan situasi pandemi covid-19 yang melanda dunia saat ini di satu sisi merupakan peluang bagi Indonesia untuk membangun solidaritas dengan negara-negara lainnya dan mencegah terjadinya perang khususnya di Laut China Selatan.

Satu di antara menurut Dahnil dengan memaksimalkan peran di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka penanganan Covid-19.

"Yang jadi tantangan kita kan sebenarnya kita punya lembaga institusi yang bertugas menjaga perdamaian. Salah satunya adalah PBB. Maka peran kita di PBB itu harus dimaksimalkan terus. Bahkan tadi saya sebutkan di awal bagaimana Kemenlu mendorong global solidarity terkait Covid-19 untuk membangun solidaritas. Itu juga dalam rangka membangun kesadaran dunia, kesadaran global jangan sampai kemudian ketika kita dirundung oleh wabah, ditambah juga dengan perang," kata Dahnil.

Masalah di Laut China Selatan Punya Potensi Konflik dengan Indonesia

Kepala Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI) Laksamana Madya Bakamla Aan Kurnia menilai memanasnya konflik di Laut China Selatan memiliki potensi konflik dengan Indonesia.

Aan menjelaskan potensi konflik tersebut bukan dalam konteks wilayah teritorial melainkan wilayah yurisdiksi pengelolaan sumber daya alam.

"Permasalahan di Laut China Selatan memiliki potensi konflik dengan Indonesia, bukan dalam konteks batas wilayah teritorial tetapi dalam konteks wilayah yurisdiksi pengelolaan sumber daya alam," kata Aan ketika dikonfirmasi, Rabu (10/6/2020).

Baca: Jika China dan AS Perang di Laut China Selatan, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Aan mengatakan eskalasi ketegangan di Laut China Selatan belakangan ini dipicu sikap asertif China dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang cenderung provokatif di sana.

Kegiatan yang dimaksud Aan antara lain Blue Sea Campaign 2020, pelarangan penangkapan ikan di Paracel, serta penetapan dua distrik dan penamaan 80 gugusan pulau karang dan fitur lainnya di Laut China Selatan.

"Ini dipicu dengan sikap asertif China dalam bentuk implementasi kegiatan-kegiatan yang cenderung provokatif di Laut China Selatan yakni Blue Sea Campaign 2020, pelarangan penangkapan ikan di Paracel, penetapan dua distrik dan penamaan 80 gugusan pulau karang dan fitur lainnya di Laut China Selatan," kata Aan.

Baca: Mantan Kepala BAIS Ungkap Dampak Bagi Indonesia Jika Amerika dan China Tempur di Laut China Selatan

Menurut Aan Kondisi tersebut menambah rumit permasalahan batas di Laut Natuna Utara yang masih belum selesai dengan Vietnam.

Aan mengatakan Indonesia dan Vietnam saat ini sedang menyelesaikan persoalan overlapping claim ZEE di Laut Natuna Utara.

Dalam kondisi ini, menurut Aan, seharusnya Indonesia dan Vietnam menahan diri dengan tidak melakukan kegiatan apapun.

Akan tetapi pada kenyataannya, kata Aan, saat ini kapal pemerintah Vietnam yaitu kapal pengawas perikanan dan kapal coast guardnya selalu hadir bersama dengan kapal ikan Vietnam di wilayah tersebut.

Baca: RRC Kerahkan Kapal Induk Terbaru, Amerika Kirim 7 Kapal Selam, Laut China Selatan Memanas

Menurut Aan kemampuan untuk hadir setiap saat tersebut belum mampu diimbangi oleh aparat penegak hukum Indonesia baik oleh TNI AL, KKP dan Bakamla yang memiliki kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi nasional di ZEEI.

Ia menilai hal tersebut berdampak pada turunnya daya gentar (deterrence effect) penegakan hukum di Laut Natuna Utara sehingga berpotensi meningkatkan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) oleh kapal-kapal ikan asing vietnam dan bahkan kapal ikan China.

"Sumber daya perikanan di Laut Natuna Utara berpotensi besar untuk tidak dinikmati oleh Indonesia, selain karena IUUF juga karena tidak dapat hadirnya kapal ikan Indonesia sendiri di wilayah tersebut," kata Aan.

Menurut Aan hal itu disebabkan di antaranya karena kapal ikan Indonesia yang berasal dari Natuna tidak memiliki kapasitas yang mumpuni atau optimal untuk melakukan eksploitasi perikanan di LNU.

Aan mengatakan rata-rata kapal ikan lokal dari Natuna berukuran kecil sekira 5 sampai 10 GT dan menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat nelayan setempat.

"Perlu strategi dan insentif untuk mendorong eksploitasi dan kehadiran kapal ikan indonesia di laut natuna. Dan perlu strategi serta tatakelola atau kolaborasi untuk mendorong peningkatan kehadiran simbol dua negara berupa aparat penegak hukum di laut Natuna Utara," kata Aan.

Karenanya sebagai sebuah negara non-blok, maka pendekatan hubungan internasional Indonesia dengan negara-negara dunia lainnya adalah berdasarkan prinsip kemerdekaan dan kesetaraan sehingga pendekatannya selalu mengutamakan konsensus bersama.

Demikian juga dalam konteks keamanan maritim yang luas, Indonesia terus mendorong kesepakatan bersama dan kesepahaman dalam cara pandang terhadap domain keamanan maritim.

Selain itu Indonesia senantiasa mendorong langkah dan upaya untuk turut menciptakan keamanan maritim yang kondusif sehingga dapat mendukung aktivitas perekonomian nasional, regional dan bahkan global.

Aan mengatakan Indonesia juga mengambil peran sentral dengan mendorong agar Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) ditetapkan sebagai kejahatan transnational mengingat dampak luas yang ditimbulkan.

Demikian juga dalam konteks regional khususnya permasalahan di Laut China Selatan, Indonesia menjadi salah satu pelopor declaration of conduct dan secara tegas mendukung keputusan Permanent Court of Arbitration sebagaimana ditegaskan kembali oleh permanent mission Indonesia untuk PBB dalam surat yang disampaikan pada tanggal 26 Mei 2020.

"Sikap Indonesia ini menunjukkan keseriusan Indonesia terhadap meningkatnya eskalasi di laut China Selatan belakangan ini," kata Aan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas