Novel Baswedan Sebut Serangan Terhadap Dirinya Sebagai Upaya Menakut-nakuti
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menilai serangan terhadap dirinya bertujuan untuk menakut-nakuti.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menilai serangan terhadap dirinya bertujuan untuk menakut-nakuti.
"Saya yakin upaya ini untuk menakut-nakuti," ujar Novel Baswedan dalam diskusi bertajuk #EnggakSengajaSidang, yan, disiarkan langsung di Channel Youtube YLBHI, Minggu (21/6/2020).
Novel Baswedan mengatakan serangan terhadap dirinya bukan kali ini saja terjadi.
Bukan hanya dirinya saja yang mendapat teror, karyawan hingga pimpinan KPK juga mengalaminya.
Namun, ia menyayangkan hingga kini tak ada satu pun kasus yang mampu terungkap.
Baca: Bertambah 127 Kasus Baru, Total Pasien Positif Covid-19 di DKI Jakarta 9.830 Orang
Bagi Novel Baswedan, penyiraman air keras terhadap dirinya dan serangan terhadap karyawan serta pimpinan KPK merupakan upaya pembelaan terhadap tindakan korupsi.
Apalagi kata Novel, serangan kepada diri dan orang-orang KPK yang bekerja untuk memberantas korupsi semakin lama semakin meningkat ketika lembaga antirasuah sedang menangani perkara-perkara yang besar dan perkara-perkara yang mengaitkan atau melibatkan orang-orang yang kuat.
Baca: Pengakuan Suami Jual Istri untuk Layani Pria Hidung Belang di Ranjang, Segini Tarifnya Sekali Kencan
Dia menjelaskan, serangan-serangan tersebut tidak terjadi dengan tiba-tiba.
Serangan terhadap dirinya, kata dia, sudah sempat diberitahu kurang lebih 1 bulan sebelum penyerangan oleh Kapolda Metro Jaya saat itu.
Sebagaimana diketahui, Novel Baswedan diserang pada subuh 11 April 2017 lalu, ketika pulang dari masjid.
Saat itu kata Novel, dirinya sedang menangani beberapa kasus besar.
Karena itu, Novel menegaskan, serangan yang dialaminya tidak hanya ditujukan kepada dirinya tapi juga mengarah ke KPK.
Mengejek
Novel Baswedan menyebut tuntutan satu tahun penjara dari jaksa penuntut umum (JPU) kapada Ronny Bugis dan Rahmat Kadir sebagai bentuk ejekan.
"Mengejutkan lagi adalah tuntutan yang disampaikan terhadap kedua terdakwa adalah 1 tahun. Ini suatu hal yang kemudian saya melihat mengejek," ujar Novel.
Novel Baswedan menilai tuntutan tersebut mencederai rasa keadilan di negeri ini.
Baca: Kuasa Hukum Heran Pimpinan KPK Seolah Tidak Peduli Nasib Novel Baswedan
"Ini bukan hanya menyepelekan terkait dengan perkara ini tapi saya melihat ini sudah seperti mencederai rasa keadilan," kata Novel Baswedan.
Tim jaksa penuntut umum (JPU), terdiri dari Ahmad Patoni, Satria Irawan, dan Fedrik Adhar, menuntu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dengan hukuman satu tahun penjara.
Dua oknum anggota Polri tersebut dituduh menjadi pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan pada 11 April 2017 lalu.
Awal pengusutan kasus berjalan, Novel masih berpikir proses pengusutan dilakukan dengan baik.
Namun, sekitar satu bulan setelah kejadian, Novel mulai menduga ada sesuatu yang tidak beres.
Di antaranya intimidasi terhadap saksi-saksi kunci yang melihat dan memfoto pelaku yang beberapa hari mengamati kediamannya.
Baca: Novel Baswedan Masih Ragu Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette adalah Pelaku Penyerangan
Bahkan ada saksi-saksi yang sempat beinteraksi dengan jarak cukup dekat.
"Lebih satu bulan setelah kejadian, saya mulai mendapatkan informasi dari saksi-saksi yang mereka adalah tetangga-tetangga saya yang dalam pemeriksaan dalam proses penyidikan justru saksi-saksi kunci merasa terintimidasi," jelasnya.
"Proses berjalan hingga kurang lebih 3 bulan atau 4 bulan setelah kejadian, kurang lebih bulan Agustus, saya kemudian mulai meyakini masalah benar-benar akan terjadi sehingga saya bersama dengan kawan-kawan masyarakat sipil dan kuasa hukum mulai menyuarakan mengenai pentingnya dibentuk tim pencari fakta atau tim gabungan pencari fakta independen di bawah presiden," ujarnya.
Setelah sekian lama, kata dia, ternyata bukti-bukti penting juga hilang, di antaranya adanya CCTV yang harusnya bisa dijadikan bukti untuk untuk mendapatkan dokumentasi wajah pelaku.
Tapi itu tidak diambil.
"Yang lain diantaranya adalah sidik jari. Sidik jari yang bisa menjadi bukti penting untuk pengungkapan perkara tidak dijadikan faktor untuk membuktikan. Bahkan belakangan malah hilang," katanya.
Baca: Merasa Janggal Soal Kasus Penyiraman Air Keras, Novel Baswedan Sebut Saksi Dapat Intimidasi
Sekembali dari pengobatan di Singapura, Novel mengkonfirmasi langsung bersama dengan tim kuasa hukum kepada saksi-saksi kunci.
"Setelah itu kami mendapatkan keyakinan, kejanggalan itu terjadi bukan karena sengaja tapi ada sesuatu seperti keengganan, upaya menutupi," ucapnya.
Tak berhenti disitu, Novel bersama tim kuasa hukum melaporkan fakta itu kepada Komnas HAM.
Komnas HAM kemudian melakukan serangkaian pemeriksaan, mengkonfirmasi ke pihak-pihak terkait dan merekomendasi sejumlah hal.
Diantaranya kata Novel, yang terjadi dalam kasus serangan terhadap dirinya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.
Bahkan serangan terhadap diri Novel adalah suatu hal yang terorganisir dan sistematis.
Selain juga rekomendasi-rekomendasi yang lain dan diantara Polri membentuk tim gabungan.
Kemudian dibentuklah tim gabungan oleh polisi.
Baca: Novel Baswedan: Dua Penganiaya Saya Tidak Pernah Meminta Maaf
Tim gabungan pun bekerja.
Rekomendasi tim gabungan juga kurang lebih mengatakan hal yang hampir serupa, yakni serangan itu terkait dengan penanganan perkara yang ditangani.
Novel sempat senang ketika Desember 2019 lalu, penyidik Polri menggumumkan adanya penetapan dua tersangka yang disebut sebagai pelaku penyerangan.
"Tentunya saya merasa senang karena penegakan hukum atau prosesnya dilakukan, terlepas dari segala kekurangan dan masalah-masalahnya," ujarnya.
Namun, ketika dirinya bertanya kepada penyidik apa yang menjadi dasar atau alasan atau bukti yang bisa dijadikan untuk menjerat dua pelaku, Novel tidak pernah dapatkan jawaban sama sekali dari penyidik hingga proses penyidikan selesai.
Memasuki persidangan, Novel pun melihat sejumlah kejanggalan.
Di antaranya soal saksi-saksi kunci kasus yang tidak dihadirkan dalam persidangan.
Kemudian terkait penggunaan alat yang dipakai pelaku menyiramkan dirinya bukan air keras tapi air aki (accu).
"Sebenarnya saya sudah menawarkan di persidangan saya sampaikan mudah saja kalau mau dibuktikan. Tapi faktanya tidak demikian yang terjadi di persidangan," jelasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.