Dianggap Merugikan Calon Penumpang Transportasi Umum, Aturan Rapid Test Digugat ke MA
Sholeh menyebut, tidak ada kewajiban rapid test bagi calon penumpang transportasi pada Keputusan Menteri Kesehatan tersebut.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Agung (MA) menerima gugatan atas aturan diharuskannya calon penumpang transportasi umum untuk melakukan tes cepat atau rapid test virus corona sebelum bepergian ke luar kota, Kamis (25/6/2020).
Gugatan yang terdaftar dengan nomor MA/PANMUD.TUN/VI/93/2020 diajukan atas nama pribadi oleh Muhammad Sholeh.
Ia merupakan pengacara asal Surabaya yang kemudian berstatus sebagai Pemohon.
Adapun pihak Termohon ialah Kepala BNPB selaku Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Sholeh menggugat terkait aturan kewajiban rapid test bagi calon penumpang transportasi umum yang diatur dalam Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 7 tahun 2020 Tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 6 Juni 2020.
Aturan tersebut tertera pada ketentuan huruf F ayat (2) huruf b angka 2.
Baca: UPDATE Corona 25 Juni: Bertambah 1.178 Pasien, Total Kasus Capai 50.187
Maka dari itu Sholeh mengajukan hak uji materiil terhadap poin tersebut.
Menurut Sholeh, poin tersebut bertentangan dengan lampiran BAB III angka 6 c dan angka 7 c Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENSKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masysarakat Di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Sholeh menyebut, tidak ada kewajiban rapid test bagi calon penumpang transportasi pada Keputusan Menteri Kesehatan tersebut.
Aturan tersebut dinilai sangat merugikan para calon penumpang pesawat terbang, kereta api, dan kapal laut.
"Rapid test ini kan bukan untuk menentukan orang kena corona atau tidak, hasil reaktif pun bukan berarti kena corona, bisa kena flu atau yang lain bisa juga reaktif," ungkapnya saat dihubungi Tribunnews, Kamis (26/5/2020).
"Sehingga menurut saya, screening melalui rapid test tidak efektif dan merugikan calon penumpang," ungkapnya.
Sholeh pun menjelaskan sejumlah alasan ia melayangkan gugatan ke MA.
Baca: Selama New Normal, Jumlah Penumpang KA Reguler Terus Meningkat
Menurut Sholeh, rapid test membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Uji rapid test hasilnya tidak bisa langsung dibawa oleh calon penumpang. Darah diambil pagi, jam 6 sore hasil baru keluar, waktu yang lama ini tentu merugikan calon penumpang yang hendak pergi mendadak ke luar kota," ungkapnya.
Sholeh menyebut, membutuhkan minimal satu hari calon penumpang baru bisa pergi ke luar kota.
Menurutnya, pekerjaannya sebagai lawyer yang memerlukan mobilitas antarkota menjadi dirugikan.
"Bukankah hal ini sangat merugikan Pemohon dan calon penumpang lainnya," ungkap Sholeh.
Alasan selanjutnya, masa berlaku tes PCR dan rapid test dinilai singkat dan tidak ada jaminan calon penumpang tidak terpapar virus corona.
"Kenapa masa berlaku PCR 7 hari dan rapid test 3 hari? Apa jaminannya hari ke dua penumpang tersebut tidak terpapar virus corona saat bepergian? Patut diduga masa berkalu hasil tes PCR dan rapid test yang pendek menguntungkan rumah sakit," ujarnya.
Sholeh menyebut, bisa jadi puluhan ribu orang setiap hari bepergian dan mengajukan rapid test.
Baca: Kereta Bandara Soekarno- Hatta akan Mulai Kembali Beroperasi Pada 1 Juli 2020
Diskriminatif
Selain itu Sholeh juga memandang aturan kewajiban rapid test diskriminatif.
Pasalnya, masyarakat yang ke luar kota dengan menggunakan kendaraan darat seperti truk dan bus tidak diwajibkan rapid test.
"Kenapa orang yang bepergian menggunakan mobil pribadi ke luar kota tidak diwajibkan menunjukkan hasil rapid test, juga sopir-sopir truk luar kota juga tidak diwajibkan rapid test, bukankah mereka juga rentan terpapar virus corona saat bepergian? Bukankah kebijakan ini diskriminatif?" ungkapnya.
"Sama-sama bepergian ke luar kota, kenapa untuk pesawat terbang, kereta api dan kapal laut wajib menunjukkan hasil rapid test, sedangkan calon penumpang bis kok tidak?" lanjutnya.
Selain itu, Sholeh juga menyebut calon penumpang yang memiliki hasil rapid test non reaktif tidak ada jaminan melanjutkan perjalanan jika suhu badan di atas 38 derajat celcius saat dicek.
"Saat masuk bandara, stasiun dan terminal semua calon penumpang di tes suhu badan, jika hasil tes suhu badan di atas 38 tidak bisa bepergian, meskipun calon penumpang tersebut membawa hasil rapid test non reaktif," ungkapnya.
Baca: Syarat dan Biaya Rapid Test di Bandara Soekarno-Hatta untuk Syarat Naik Pesawat
"Pertanyaannya yang menjadikan calon penumpang bisa bepergian itu adalah hasil rapid test atau tes suhu badan?" imbuhnya.
Sholeh mengungkapkan, tidak menutup kemungkinan ada kerjasama antara Termohon, dalam hal ini Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dengan rumah sakit.
"Patut diduga ada kerjasama antara Termohon dengan pihak rumah sakit dalam pelaksaan kewajiban rapid test," ungkapnya.
Merugikan Calon Penumpang
Lebih lanjut, Sholeh mengungkapkan kebijakan rapid test berbiaya mahal sangat merugikan calon penumpang.
"Sebab tidak semua penumpang orang kaya, jika penumpang kapal laut tentu kategori bukan orang mampu, sebab jika punya uang dia akan naik pesawat bukan naik kapal laut," ungkapnya.
"Misalnya, di Surabaya ada calon penumpang yang hendak nai kapal laut ke Nusa Tenggara Timur, biaya rapid test Rp 350 ribu, sedangkan harga tiket kapal laut Surabaya ke Nusa Tenggara Timur hanya Rp 312 ribu, kalau satu orang yang pergi selisihnya tidak banyak."
"Namun jika yang pergi suami, istri dan anak, tentu selisihnya jadi banyak. Bukankah berbiaya maha sangat memberatkan bagi calon penempuang kapal laut dan kereta api. Karena tiket kereta dan kapal laut tergolong murah sebab pangsa pasarnya untuk kalangan menengah ke bawah," jelas Sholeh.
Sehingga menurut Sholeh, apa yang ada di ketentuan huruf F ayat (2) huruf b angka 2 Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 7 tahun 2020 bertentangan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENSKES/382/2020.
(Tribunnews.com/Wahyu Gilang P)