RUU PKS Dianggap Mengadopsi Ideologi Barat, LBH APIK: Justru Kita Lihat Situasi Korban di Indonesia
Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Dian Novita membeberkan sederet alasan mengapa RUU PKS tak kunjung disahkan. Pihak penentang menghambat.
Penulis: Inza Maliana
Editor: bunga pradipta p
TRIBUNNEWS.COM - Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta, Dian Novita membeberkan sederet alasan mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tak kunjung disahkan.
Dinov, sapaannya, sudah sejak 2017 memantau perkembangan RUU PKS di DPR RI.
Hingga kabar ditariknya dari Prolegnas 2020 mencuat ke publik, Dinov menuturkan substansi dari RUU PKS ini masih belum dibahas.
Padahal, proses pembahasannya sudah berjalan selama lebih dari tiga tahun.
Hal itu dikarenakan, selalu ada berbagai alasan dari pihak penolak RUU PKS yang menghambat.
Misalnya, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan pembahasan RUU PKS masih terbentur soal judul dan definisi kekerasan seksual.
Baca: LBH APIK Jakarta Beberkan Sederet Alasan Mengapa RUU PKS Harus Benar-benar Disahkan
"Alasan-alasan mereka tidak masuk akal, tidak sesuai dengan inti RUU PKS."
"Padahal intinya ini memberikan keadilan bagi korban yang selama ini sulit didapatkan," ujar Dinov kepada Tribunnews, melalui Zoom Meeting, Kamis (2/7/2020) malam.
Contoh lain yang sempat menjadi kontroversi pada akhir 2019 lalu, RUU PKS diangap melegalkan seks bebas.
Selain itu, pihak penentang juga menganggap draf RUU PKS mengadopsi dari ideologi budaya barat.
"Jadi RUU ini ada bukan dari barat, bukan dari kita mengadopsi dari luar negeri."
"Tapi RUU ini ada justru kita melihat situasi korban yang ada di Indonesia," tegas Dinov.
Padahal, bila dibandingkan, di luar negeri sudah memiliki aturan sendiri.
Terlebih budaya dan pengalaman politik di negeri barat pun sangat berbeda dengan Indonesia.
Berdasar pengalaman pendamping korban, Dinov menuturkan proses menghadapi kasus tanpa adanya payung hukum sangat sulit.
Terlebih, di Indonesia stigma terhadap perempuan korban kekerasan seksual masih sering terjadi.
Seperti anggapan perempuan tidak pantas keluar malam dan berhak dilecehkan karena memakai pakaian minim.
"Kasus kekerasan seksual bukan dianggap melanggar kemanusiaan, jadi seperti dianggap melanggar norma dan budaya saja," jelas Dinov.
Padahal, sudah jelas hukuman membayar denda kepada korban atau menikahkan korban dengan pelaku, tidak akan menyembuhkan trauma korban.
Oleh karena itu, dengan adanya payung hukum, maka diharapkan korban kekerasan seksual bisa pulih dan kembali beraktivas lagi.
Baca: Wacana Ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020, Aktivis Beberkan Sejarah Panjang Perjuangan RUU PKS
Alasan RUU PKS Diusulkan Keluar Daftar Prolegnas
Sebelumnya, Komisi VIII DPR mengusulkan agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS sulit dilakukan saat ini.
Pasalnya, RUU PKS merupakan RUU inisiatif DPR.
Baca: RUU PKS Ditarik karena Sulit, Sujiwo Tejo: Bagaimana Kalau Siswa Kembalikan Soal Ujian karena Sulit?
"Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit," ujar Marwan dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020).
Marwan pun menyampaikan, Komisi VIII mengusulkan pembahasan RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia untuk masuk daftar Prolegnas Prioritas 2020.
"Sekaligus kami mengusulkan ada yang baru yaitu RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia."
"Karena RUU Penanggulangan Bencana sudah berjalan, perkiraan teman-teman RUU tentang Kesejahteraan Lanjut Usia masih bisa kita kerjakan," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Inza Maliana)