Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

RUU HIP Harus Dikembalikan ke Tujuan Awal untuk Memperkuat BPIP

Jika RUU HIP dikembalikan ke tujuan awalnya untuk memperkuat BPIP maka tak akan ada masalah. Termasuk masyarakat akan memahaminya.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
zoom-in RUU HIP Harus Dikembalikan ke Tujuan Awal untuk Memperkuat BPIP
dok pribadi
Obsatar Sinaga 

"Kalau diturunkan harus menjadi nilai yang operasional yang menjadi pegangan dalam kehidupan kita sehari-hari dimanapun kita berada, termasuk di dalamnya kita berpolitik, mengambil kebijakan, dan lain-lain sebagainya. Contohnya di kementerian atau institusi pendidikan tidak ada lagi eksklusivitas atas ras atau suku tertentu. Bahkan saya berkhayal suatu ketika saudara kita dari Papua bisa menjadi gubernur di Jawa Timur, saudara kita di Jawa Timur menjadi gubernur di Aceh, wah indah sekali Indonesia ini," kata Emrus.

Pasca menimbulkan polemik, RUU HIP kemudian diusulkan diganti namanya dengan Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP).

Namun, menurut Obsatar dan Emrus pergantian nama tak berarti masyarakat lantas akan menerimanya secara langsung.

Agar masyarakat tidak anti terhadap RUU PIP ini, Emrus menekankan perlunya sosialisasi yang melibatkan masyarakat sejak awal rancangan tersebut dibentuk.

Pelibatan dan komunikasi kepada masyarakat di ruang publik dan dengan pemangku kepentingan sebelum diajukan ke DPR menurutnya penting.

"Itu jauh lebih baik. Sehingga RUU ini sudah lebih meng-cover kepentingan daripada yang ada di masyarakat. Oleh karena itulah ke depan kalau ini nanti diajukan nanti dalam satu RUU ya namanya akan jadi Pembinaan Ideologi Pancasila. Saya kira saya setuju itu dibanding dengan Haluan Ideologi Pancasila. Nah dari segi judul saja pakai haluan saya kira tidak pas. Masa Undang-Undang menjadi haluan," jelas Emrus.

Sementara Obsatar menilai RUU tersebut harus memiliki substansi dengan penyesuaian terhadap situasi. Seperti di era ini, kata dia, generasinya cenderung kritis dan tidak mau diatur dan kerap menggunakan media sosial (medsos).

Berita Rekomendasi

Apabila pemahaman terkait Pancasila disampaikan dengan menyuguhkan pasal-pasal dia menegaskan hal tersebut tak akan berhasil. Bahkan dia mengingat zaman dahulu dalam penataran P4 dirinya mengantuk dan tertidur karena penyampaian dengan pasal-pasal.

"Nah tinggal bagaimana nanti Undang-Undang ini mengatur secara garis besar. Dia bisa membuat pembinaan Pancasila masuk ke medsos, pembinaan pancasila masuk ke dunia-dunia yang sama dengan pemahaman pemuda jaman sekarang," kata Obsatar.

"Perlu kemasan yang baik, kemasan ini garis besarnya ada dalam Undang-Undang. Tapi jangan sampai misalnya kemasan itu jadi melanggar aturan-aturan lain yang bersifat regulasi seperti UU ITE yang ada dalam medsos. Ini harus disejajarkan supaya yang kita sebut generasi milenial itu bisa tahu dan bisa mengerti Pancasila," imbuhnya.

Lebih lanjut, Obsatar mengatakan masyarakat Indonesia juga harus merubah pandangan terkait berhasil tidaknya suatu pembinaan. Pasalnya selama ini keberhasilan pembinaan selalu diidentikkan dengan aspek fisik. Baik dari seberapa besar uang yang harus dikeluarkan hingga kecepatan hasil yang diperoleh.

Dengan biaya miliaran yang dikeluarkan pemerintah namun hasilnya tak bisa terlihat secara instan, masyarakat biasanya akan langsung melabeli hal tersebut dengan kerugian negara.

"Pembinaan habis sekian miliar tapi hasilnya itu baru bisa dicapai sepuluh tahun kemudian, nggak bisa saat itu juga. Berarti kita baru memperoleh atau memetik hasilnya setelah sekian tahun. Ini kalau dihitung pembinaan yang biayanya besar segala macem pasti langsung dibilang 'wah ini ngehabisin uang negara'," kata Obsatar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas