RUU HIP Harus Dikembalikan ke Tujuan Awal untuk Memperkuat BPIP
Jika RUU HIP dikembalikan ke tujuan awalnya untuk memperkuat BPIP maka tak akan ada masalah. Termasuk masyarakat akan memahaminya.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menuai kontroversi karena dinilai berusaha mengubah Pancasila.
Rektor Universitas Widyatama Prof Obsatar Sinaga mengatakan, RUU tersebut harus kembali kepada tujuan awalnya yakni memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Hal senada juga terjadi tatkala Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno bersama sejumlah veteran dan purnawirawan TNI/Polri menyambangi MPR dan meminta adanya dukungan terhadap RUU tersebut untuk memperkuat BPIP yang kemudian akan mengawal Pancasila.
"Sebenarnya suasana kebatinannya ketika RUU itu muncul, isinya adalah untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Tujuannya itu bukan untuk mengubah isi-isi sila Pancasila. Dan ketika masuk ke badan legislatif dan MPR itu pun isinya masih penguatan BPIP. Tapi ketika masuk DPR mungkin ada yang iseng di DPR tiba-tiba jadi membahas Ekasila dan Trisila," ujar Obsatar, di Menara Kompas Jakarta, Sabtu (4/7/2020).
Baca: Berkah di Balik Polemik RUU HIP, Mereka yang Awalnya Pro-Negara Agama Kini Jadi Jubir Pancasila
Baca: Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan: MPR dan PBNU Satu Pandangan Pembatalan Total RUU HIP
Menurutnya jika RUU HIP dikembalikan ke tujuan awalnya untuk memperkuat BPIP maka tak akan ada masalah. Termasuk masyarakat akan memahaminya.
BPIP sendiri memang dinilai perlu keberadaannya. Karena puluhan tahun pascareformasi, Obsatar mengatakan banyak pihak yang baru akan sadar bahwa Pancasila akan hilang begitu saja jika tak dibina.
Oleh karenanya, badan yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada 2018 lalu itu membutuhkan payung hukum berupa Undang-Undang. Dengan begitu, BPIP tak akan terpengaruh oleh pergantian presiden.
Obsatar mencontohkan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) yang turut dibubarkan seiring lengsernya Soeharto.
"Jadi BPIP yang selama ini terbentuk dari Kepres, mestinya itu dibentuk bukan dari keputusan presiden tapi dari Undang-Undang. Sehingga kalau presidennya ganti, maka dia tidak akan berpengaruh dan tetap akan menjadi lembaga kuat yang bertugas untuk menjaga ideologi negara," kata Obsatar.
Senada dengan Obsatar, pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan Undang-Undang sebagai penguat BPIP mutlak harus ada. Sehingga badan tersebut akan terus eksis tanpa batas waktu meski presiden terus berganti.
"Jadi pembuatan Undang-Undang ini menurut saya sesuatu yang bagus, tetapi harus dibuat dalam pembinaan Pancasila bukan haluan. Harus diterapkan dalam level sehari-hari sampai pengambilan keputusan negara," ujar Emrus.
Terkait poin yang harus ada dalam RUU tersebut, Emrus menegaskan bahwa semua pihak harus bersepakat dahulu bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa, di mana tak ada Ekasila dan Trisila.
Selain itu, dari lima sila yang masih bersifat konseptual tersebut menurutnya perlu ada turunan yang langsung dapat diimplementasikan dalam masyarakat.
Baca: Ulama dan Santri Ciamis Ancam Siap Kembali Kepung Jakarta Bila DPR RI Nekat Bahas RUU HIP
Baca: Bertemu Pimpinan MPR, LVRI Usul RUU HIP Jadi RUU PIP
"Kalau diturunkan harus menjadi nilai yang operasional yang menjadi pegangan dalam kehidupan kita sehari-hari dimanapun kita berada, termasuk di dalamnya kita berpolitik, mengambil kebijakan, dan lain-lain sebagainya. Contohnya di kementerian atau institusi pendidikan tidak ada lagi eksklusivitas atas ras atau suku tertentu. Bahkan saya berkhayal suatu ketika saudara kita dari Papua bisa menjadi gubernur di Jawa Timur, saudara kita di Jawa Timur menjadi gubernur di Aceh, wah indah sekali Indonesia ini," kata Emrus.
Pasca menimbulkan polemik, RUU HIP kemudian diusulkan diganti namanya dengan Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP).
Namun, menurut Obsatar dan Emrus pergantian nama tak berarti masyarakat lantas akan menerimanya secara langsung.
Agar masyarakat tidak anti terhadap RUU PIP ini, Emrus menekankan perlunya sosialisasi yang melibatkan masyarakat sejak awal rancangan tersebut dibentuk.
Pelibatan dan komunikasi kepada masyarakat di ruang publik dan dengan pemangku kepentingan sebelum diajukan ke DPR menurutnya penting.
"Itu jauh lebih baik. Sehingga RUU ini sudah lebih meng-cover kepentingan daripada yang ada di masyarakat. Oleh karena itulah ke depan kalau ini nanti diajukan nanti dalam satu RUU ya namanya akan jadi Pembinaan Ideologi Pancasila. Saya kira saya setuju itu dibanding dengan Haluan Ideologi Pancasila. Nah dari segi judul saja pakai haluan saya kira tidak pas. Masa Undang-Undang menjadi haluan," jelas Emrus.
Sementara Obsatar menilai RUU tersebut harus memiliki substansi dengan penyesuaian terhadap situasi. Seperti di era ini, kata dia, generasinya cenderung kritis dan tidak mau diatur dan kerap menggunakan media sosial (medsos).
Apabila pemahaman terkait Pancasila disampaikan dengan menyuguhkan pasal-pasal dia menegaskan hal tersebut tak akan berhasil. Bahkan dia mengingat zaman dahulu dalam penataran P4 dirinya mengantuk dan tertidur karena penyampaian dengan pasal-pasal.
"Nah tinggal bagaimana nanti Undang-Undang ini mengatur secara garis besar. Dia bisa membuat pembinaan Pancasila masuk ke medsos, pembinaan pancasila masuk ke dunia-dunia yang sama dengan pemahaman pemuda jaman sekarang," kata Obsatar.
"Perlu kemasan yang baik, kemasan ini garis besarnya ada dalam Undang-Undang. Tapi jangan sampai misalnya kemasan itu jadi melanggar aturan-aturan lain yang bersifat regulasi seperti UU ITE yang ada dalam medsos. Ini harus disejajarkan supaya yang kita sebut generasi milenial itu bisa tahu dan bisa mengerti Pancasila," imbuhnya.
Lebih lanjut, Obsatar mengatakan masyarakat Indonesia juga harus merubah pandangan terkait berhasil tidaknya suatu pembinaan. Pasalnya selama ini keberhasilan pembinaan selalu diidentikkan dengan aspek fisik. Baik dari seberapa besar uang yang harus dikeluarkan hingga kecepatan hasil yang diperoleh.
Dengan biaya miliaran yang dikeluarkan pemerintah namun hasilnya tak bisa terlihat secara instan, masyarakat biasanya akan langsung melabeli hal tersebut dengan kerugian negara.
"Pembinaan habis sekian miliar tapi hasilnya itu baru bisa dicapai sepuluh tahun kemudian, nggak bisa saat itu juga. Berarti kita baru memperoleh atau memetik hasilnya setelah sekian tahun. Ini kalau dihitung pembinaan yang biayanya besar segala macem pasti langsung dibilang 'wah ini ngehabisin uang negara'," kata Obsatar.