Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penambahan Kewenangan Polisi pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dinilai Rentan Korupsi

Menurut Syarif, kehadiran RUU Cipta Kerja terkesan dipaksakan lantaran proses pembahasannya tidak transparan.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Penambahan Kewenangan Polisi pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dinilai Rentan Korupsi
Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com
Laode M Syarif 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M Syarif, menilai ikut andilnya polisi dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja menambah kerentanan terjadinya tindak pidana korupsi.

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu setuju dengan sempalan dalil Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.

"Saya pikir akan menambah kerentanan korupsi. Jadi dengan menambah kewenangan kepada satu institusi, kemungkinan utk di-abuse itu akan bertambah," kata Syarif dalam diskusi daring ‘Penambahan Kewenangan Kepolisian dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja’, Minggu (12/7/2020).

Menurut Syarif, kehadiran RUU Cipta Kerja terkesan dipaksakan lantaran proses pembahasannya tidak transparan.

Baca: RUU Cipta Kerja Munculkan Peluang dan Norma Baru Bagi Pekerja

Mulai dari segi ketatanegaraan, bakal memusatkan kekuasaan kepada presiden, sehingga segala regulasi yang akan dikeluarkan dalam bentuk peraturan presiden (PP) dan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nyaris hilang.

"Saya pikir kepolisian menjalankan fungsinya saja sekarang ini dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan menegakkan hukum. Itu saja sudah pontang-panting, apalagi ditambah dengan kewenangan-kewenangan yang sangat bersifat karet. Itu berbahaya," tuturnya.

Dalam draf Pasal 82 beleid sapu jagat (omnibus law) itu, Polri diberi kewenangan mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.

Berita Rekomendasi

Juga mengawasi 'aliran' yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta melakukan pemeriksaan khusus sebagai tindakan dalam rangka pencegahan.

"Apa definisi penyakit masyarakat? Ini pasal karet yang betul-betul sangat berbahaya. Apa itu penyakit masyarakat? Kalau misalnya seseorang protes, bisa dianggap penyakit masyarakat? Kalau misalnya seseorang mengekspresikan kebebasannya sebagi individu tetapi orang sekitarnya tidak senang dan dilaporkan, apa ini bisa dianggap penyakit masyarakat?" kata Syarif.

Syarif juga mempertanyakan definisi 'aliran' dalam draf RUU Cipta Kerja.

Pasalnya, studi hukum, ekonomi, hingga sosial politik di perguruan tunggu membahas paham sosialis, liberal, dan kapitalis.

"Ini menimbulkan perpecahan. Saya pikir, ini memberikan tambahan kepada kepolisian untuk mengartikan pasal-pasal karet yang sangat berbahaya," ucap Syarif.

Dia pun mengkritik Pasal 15 ayat (2) huruf f draf RUU Cipta Kerja yang memberikan wewenang Polri terkait izin usaha di bidang jasa pengamanan.

Misalnya, izin berusaha untuk badan usaha pelatihan satpam. Sebelumnya, kepolisian hanya mengawasi bidang tersebut.

"Itu terlalu jauh dari tugas dan fungsi kepolisian. Katanya mau memperingkas izin usaha, sekarang kepolisian malah memberikan izin usahanya," kata Syarif.

"Omnibus law ini memang layak ditolak," ia menegaskan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas