Seratus Tahun PK Ojong Pendiri Kompas Gramedia (3): Ojong Berintegritas, Media Sekarang Tersesat
Sikap Ojong jelas, sekali mati tapi berarti. Ia menolak untuk mengikuti kemauan rejim Soeharto.
Editor: Dewi Agustina
Jaman Pak Ojong juga menarik karena politik identitas tidak kuat. Partai-partai yang utama waktu itu PNI, PKI, dan PSI itu multi etnik, multi agama. Suasana yang bagus sampai terjadinya G30S.
Nilai-nilai ini membekas pada saya. Dan juga meskipun beliau bukan seorang seniman, tapi beliau memberi ruang yang sangat luas pada kesenian di Kompas.
Beliau sangat percaya dan sayang pada Arief Budiman, sehingga Arief Budiman bisa menulis dua halaman di Kompas. Tidak ada koran di Indonesia seperti itu, dan ini sangat bagus. Sayangnya ini tidak ada lagi. Dari semua wartawan senior, hal ini sekarang sudah tidak ada lagi.
Cerita soal tahanan politik harus bisa baca buku, bagaimana?
Karena beliau memang pembaca yang baik dan penulis yang baik. Tulisan dia menulis soal sejarah perang Eropa memang berdasarkan riset dan beliau latar belakangnya guru.
Nilai yang menginspirasi dari PK Ojong sebagai insan pers?
Yang tadi saya sebut bahwa pertama ketika saya tanya mau mendirikan majalah Tempo, yang dijawab saya harus bekerja 7 hari 24 jam. Buat saya itu benar, saya pegang sampai hari ini.
Etos kerja itu dipertahankan, tidak boleh melawan kerja, ga boleh menolak tugas, seperti tentara dan tentu saja integritas dan kecerdasan.
Banyak wartawan yang tidak baca, tapi beliau tidak pernah menilai orang. Tetapi kelihatan bahwa beliau sangat menghargai orang yang membaca dan ingin tahu.
Dan majalah Star Weekly begitu banyak untung karena ada PK Ojong. Mana ada majalah seperti itu memuat panjang lebar mengenai sejarawan Arnold Toynbee.
Nilai hidup Pak Ojong yang lain, apa yang menginspirasi?
Saya mencontoh PK Ojong banyak, di dalam organisasi pimpinan jangan mementingkan diri sendiri. Jadi ada kesetaraan dalam manajemen, itu memperkuat tim.
Jadi itu yang terus saya pakai, bahkan di Tempo saat ini pemimpin redaksi itu bukan dewa. Bisa salah, boleh dibantah, bisa diketawain, bisa diajak diskusi.
Perpaduan duo PK Ojong dan Jakob Oetama bagaimana?
Karena saya tidak dekat dengan (Jacob Oetama), saya sudah di Tempo, jadi saya tidak tahu. Saya kira bukan karena perbedaan soal Jawa dan Minang, soal karakter. Keduanya rendah hati, PK Ojong itu tidak ada sombong-sombongnya. Sama saya saja baik kok, pernah makan-makan, saya diperlakukan sama saja.
Hal lain yang menginspirasi dari sosok PK Ojong?
Ya itu tadi kesederhanaan, rendah hati dan keseriusan bekerja. Pak Ojong bukan orang yang tertawa-tawa terlalu banyak, tidak pernah berpidato, sangat agak pemalu.
Mungkin kedalaman filsafatnya juga bebas, tapi pandangan moralnya sangat mengakar. Saya ingat, waktu itu Mochtar Lubis orangnya agak berapi-api, sehingga partai-partai dikumpulkan saja.
Pak Ojong bilang pada saya, kan dia sahabat Mochtar, beliau bilang sama saya, sangat berat ya, tidak ada pemimpin yang jadi tauladan. Jadi itu saya katakan beliau itu seorang demokrat seperti yang dia perlihatkan dalam Kompasiana. Beliau juga cukup kritis pada kondisi saat itu.
Baca: 100 Tahun Pendiri Kompas Gramedia: Generasi Sekarang Layak Meniru PK Ojong, Jangan Cuma Tik-tok-an
Sosok PK Ojong di mata Anda?
Pertama beliau tidak memburu kekayaan, kekayaan itu by product, beliau kan tidak. Kedua beliau itu membuat kita bisa mengawal kemerdekaan. Kalau orang bernafsu kaya kan mudah dibeli.
Wartawan Kompas dan Tempo terkenal tidak menerima suap, tidak ada kompromi soal itu. Ketiga ya bekerja keras dan belajar terus, dan itu yang mungkin tidak ada sekarang, kerja keras dan belajar terus, karena mudah.
Ketokohan PK Ojong yang seperti apa yang kiranya bisa ditiru awak media hari ini?
Saya tidak tahu media yang sekarang, saya belum memahami. Cuma memang ada bahasanya bahwa menulis pendek-pendek, kita tidak bisa berpikir jauh, bahkan daya kritis pun tidak berkembang. Orang ngomong sudah tulis. Orang baca judulnya, tidak baca isinya.
Dalam hal ini zaman ini sangatlah berbeda, media menjadi bagian dari pembodohan, tersesat. Tergantung kitalah, kita ini bekerja sebagai wartawan untuk apa? Pernah bertanya tidak kalian, jadi wartawan untuk apa sih?
Tadi saya sudah bilang berkali-kali, pertama kerja keras, kemudian kemerdekaan, kemudian keadilan. Bagi saya, dari seluruh wartawan senior, yang benar-benar wartawan hanya PK Ojong.
Beliau mengajarkan kerja keras, serius, belajar terus dan tidak menjadi pribadi yang berpikir akan segera kaya.
Tidak mungkin apalagi jaman sekarang, apakah hal ini cocok bagi zaman kalian saya tidak tahu. Kalian hidup di zaman kalian. (genik/tribunnetwork/cep)