KPK Periksa Bupati Blora Terkait Kasus Korupsi di PT Dirgantara Indonesia
KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Bupati Blora periode 2010-2021 Letkol Inf (Purn) Djoko Nugroho.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan terhadap Bupati Blora periode 2010-2021 Letkol Inf (Purn) Djoko Nugroho.
Pensiunan TNI itu bakal diperiksa tim penyidik KPK sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi di PT Dirgantara Indonesia tahun 2007-2017 terkait penjualan dan pemasaran pesawat terbang dan helikopter.
"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka BS (Budi Santoso, eks Dirut PT DI)," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (6/8/2020).
Baca: KPK Periksa Direktur PT Indonesian Advisory Terkait Dugaan Korupsi di PT DI
Selain Djoko, penyidik KPK juga mengagendakan pemeriksaan terhadap Kasi Sarana dan Prasarana Badan SAR Nasional Suhardi dan Komisiaris PT Quartagraha Adikarsa Susinto Entong. Keterangan keduanya juga dibutuhkan untuk melengkapi berkas perkara Budi Santoso.
Belum diketahui apa yang akan digali penyidik dari para saksi. Namun, belakangan KPK tengah menelisik penerimaan uang (kickback) dalam rasuah di perusahaan plat merah ini.
Baca: Deputi Pencegahan KPK: Birokrasi Berpolitik Bisa Jadi Pangkal Tindakan Korupsi
Dalam perkara ini, KPK menetapkan bekas Direktur Utama PT DI Budi Santoso dan mantan Asisten Direktur Utama PT DI bidang Bisnis Pemerintah Irzal Rizaldi Zailani sebagai tersangka.
KPK menduga Budi dan Irzal bersama sejumlah pihak telah merugikan keuangan negara sekitar Rp205, 3 miliar dan 8,65 juta dolar AS atau sekira Rp300 miliar terkait kasus tersebut.
Nilai kerugian negara itu berasal dari jumlah pembayaran yang dikeluarkan PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra atau agen penjualan dan pemasaran dari tahun 2008 hingga 2018.
Padahal, keenam perusahaan tidak pernah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian.
Kasus korupsi ini bermula pada awal 2008, saat Budi Santoso dan Irzal Rinaldi Zailani bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh selaku Direktur Aerostructure, serta Arie Wibowo selaku Kepala Divisi Pemasaran dan Penjualan menggelar rapat mengenai kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia (Persero) untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya.
Dalam rapat tersebut juga dibahas biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan melalui bagian keuangan.
Setelah sejumlah pertemuan, disepakati kelanjutan program kerja sama
mitra atau keagenan dengan mekanisme penunjukkan langsung.
Baca: KPK Temukan Ada Duit Panas Proyek PUPR Mengalir ke Pejabat Kota Banjar
Selain itu, dalam penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Dirgantara Indonesia (Persero), pembiayaan kerja sama tersebut dititipkan dalam 'sandi-sandi anggaran' pada kegiatan penjualan dan pemasaran.
Budi Santoso selanjutnya memerintahkan Irzal Rinaldi Zailani dan Arie Wibowo untuk menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra/keagenan.
Irzal lantas menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra/agen.
Setelah itu, mulai Juni 2008 hingga 2018, dibuat kontrak kemitraan/agen antara PT Dirgantara Indonesia yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
Namun, atas kontrak kerja sama mitra/agen tersebut, seluruh mitra/agen tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerjasama.
Pembayaran nilai kontrak tersebut baru mulai dibayarkan PT Dirgantara Indonesia kepada perusahaan mitra/agen pada 2011 atau setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.
Selama tahun 2011 hingga 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia kepada enam perusahaan mitra/agen tersebut sekira Rp205,3 miliar dan 8,65 juta dolar AS.
Terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekira Rp96 miliar setelah keenam perusahaan tersebut menerima pembayaran.
Kemudian uang itu diterima oleh sejumlah pejabat di PT Dirgantara Indonesia, termasuk Budi, Irzal Rinaldi, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Budi Santoso dan Irzal Rinaldi dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.