Kisah Pak Min, Pejuang Kemerdekaan yang Menyambung Hidup dengan Berjualan Mainan
Meski sudah memasuki usia senja dengan badan tak seperkasa saat muda, tapi semangat Pak Min tetap membara.
Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pak Min, kakek berusia 87 tahun, seorang pejuang kemerdekaan yang kini berjualan mainan di pinggir jalan viral di media sosial.
Kisah itu dibagikan pertama kali ioleh akun TikTok @ceritadisolo, yang kemudian diunggah ke Instagram @thoric.idn.
Meski sudah memasuki usia senja dengan badan tak seperkasa saat muda, tapi semangat Pak Min tetap membara.
Kini 75 tahun setelah Indonesia merdeka, Pak Min masih tetap berjuang dengan perjuangan yang berbeda.
Ia tak lagi mengangkat senjata, namun berjuang di pinggiran jalan berjualan mainan di tengah teriknya sinar matahari dan dinginnya malam Kota Solo.
Saat dikonfirmasi, Ahmad Thoric menceritakan, bahwa Pak Min sudah berjualan mainan hampir 20 tahun lamanya.
Baca: Fadli Zon dan Fahri Hamzah Akan Terima Bintang Jasa Mahaputra Nararya, Ini Penjelasan Istana
Dari pagi sekira pukul 10.00-16.00 WIB, Pak Min berjulan mainan di deoan Boulevard Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Namun, menurut Thoric, karena ada perbaikan jalan di sekitar daerah tersebut, maka Pak Min untuk sementara libur berjulaan saat siang.
Kemudian, sore sekira pukul 16.30-22.00 WIB, Pak Min berpindah lokasi jualan, yakni di Utara Perempatan Panggung Solo.
Pak Min menjual mainan hasil buatan tangannya sendiri, seperti pistol-pistolan dan pesawat dari gabus.
"Aku sempat beli mainannya itu memang handmade beneran jadi jangan tanya kualitasnya, ya kualitas Pak Min aja."
"Pak Min itu jualan pistol-pistolan sama pesawat dari gabus (handmade), yang lain kulakan seperti celengan, topeng dan lain lain," kata Thoric.
Baca: Viral Video Warga Rebut lalu Ciumi Jenazah Covid-19, Polisi: yang Bersangkutan Tokoh Agama
Thoric yang merupakan konten kreator mengatakan, harga mainan yang dijual Pak Min bervariatif, mulai dari Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu.
Menurut Thoric, saat ini Pak Min hidup dan tinggal bersama anaknya yang kedua di Kampung Kaplingan, Jebres, Solo, istrinya telah meninggal sejak 20 tahun yang lalu.
Kepada Thoric, Pak Min menjelaskan alasannya tetap berjualan di usia tuanya.
Pak Min berprinsip, ia tak mau meminta selama masih mampu untuk bekerja.
Ia juga tak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain termasuk anaknya sendiri.
"Ya ini salah satunya hiburanku, aku bertemu banyak orang baru adalah hiburanku'."
"Badanku masih sehat dan masih kuat aku nggak bakal minta-minta aku tetep pengen gimana caranya usaha sendiri, selama aku masih mampu ya aku pilih bekerja'," kata Thoric menirukan ucapan Pak Min melalui sambungan telepon saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (10/8/2020).
"Prinsip hidupnya Pak Min itu, 'jangan meminta-minta tapi gimana caranya kamu malah harus bisa memberi dan mengumpulkan bekal untuk hidupmu di hari tua nanti'," tambahnya.
Meski Pak Min pernah ikut berjuang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun ia tak mendapatkan penghargaan atau santunan dari pemerintah.
Sosok Pak Min
Thoric menceritakan, Pak Min lahir 1933, ayahnya meninggal karena tertembak pasukan Belanda saat berperang.
Akhirnya, saat Pak Min masih muda, ia ikut berperang mewalan penjajah dalam Agresi Militar Belanda II di Donohudan, Boyolali.
"Karena waktu itu beliau masih berusia sekitar 16-17 tahun sama komandan-komandannya itu dibilangin gini 'kamu itu masih kecil, kamu itu pantasnya malah jadi mata-mata, kamu nggak bakal ketangkap sama orang Belanda'," kata Thoric.
Dari situ, Pak Min ditugaskan sebagai mata-mata Indonesia untuk mengawasi gerak-gerik Belanda.
Menurut penuturan Pak Min kepada Thoric, dahulu saat menjajah Indonesia, Belanda juga punya antek-antek yang merupakan orang Indonesia.
Antek-antek tersebut mudah dikenali karena selalu membawa kaca di genggaman tangannya.
"Tugasnya waktu itu, jadi Belanda itu kata beliau juga punya antek-antek orang Indonesia, antek antek itu bawaannya gampang banget."
Baca: Viral Awan Mirip Gelombang Tsunami di Aceh, BMKG Beri Penjelasan, Imbau Warga Tak Lakukan Ini
"Kalau tangannya ada cermin, genggam cermin. Itu fungsinya ngasih kode ke Belanda daerah tersebut kalau sudah dipantulkan sinar dari cermin nanti nggak begitu lama ada pesawat Belanda nge-bom wilayah tersebut."
"Nah ceritanya beliau itu, beliau men-survey kayak gitu," papar Thoric.
Kepada Thoric, Pak Min menceritakan, dulu hampir setiap hari ia melihat mayat tergeletak di pinggir jalan.
"Beliau itu menceritakan, 'dulu itu setiap hari di daerah Donohudan tempatku itu 15-20 orang itu pasti ada mayat-mayat di pinggir jalan'," jelas Thoric menirukan ucapan Pak Min.
Kemudian saat terjadi peristiwa G30S PKI, Pak Min tak ikut berperang karena ia sudah bekerja di Jakarta.
Namun, adanya peristiwa tersebut membawa dampak untuk pekerjaan Pak Min, semua proyeknya terpaksa berhenti dan ia akhirnya memutuskan pulang ke Solo.
Baca: Viral Kritikan Siswa SMA soal Pembelajaran Jarak Jauh: Terkendala Gadget, Kuota, hingga Sinyal
"Waktu peristiwa G30S PKI beliau ada di Jakarta, karena resesi kemelut seperti itu akhirnya beliau pulang ke Solo."
Di Solo, Pak Min bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), namun karena gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat itu kecil, akhirnya ia banting setir ke dunia usaha.
Kemudian, pada tahun 1970an, Pak Min menekuni usaha berjualan lampu semprong.
Karena usahanya itu, ia juga dijuluki Pak Min Semprong.
Namun, usaha itu hanya berjalan 10 tahun, lampu semprong mulai meredup tergantikan dengan lampu PLN.
Pak Min akhirnya memutuskan untuk berjualan mainan hasil buatan tanganya sendiri.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana)