Merasa Gagal Mengurus Partai Gerindra, Arief Poyuono Pasrah Bila Tidak Jadi Pengurus Lagi
Arief Poyuono mengisi posisi jabatan di kepengurusan Partai Gerindra sejak tahun 2008-2020.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Arief Poyuono mengaku sampai saat ini belum mengetahui apakah dirinya kembali menjabat atau tidak di kepengurusan Partai Gerindra periode 2020-2025.
Sejauh ini draft kepengurusan baru sesuai hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Gerindra telah rampung disusun.
Namun, nama-nama kepengurusan baru Partai Gerindra sampai saat ini belum diumumkan.
Surat Keputusan (SK) kepengurusan baru Partai Gerindra masih diproses di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk kemudian disahkan.
"Saya belum tahu sampai hari ini. Kalaupun tidak diberikan jabatan lagi, saya kan sudah lama juga di situ, dari 2008 sampai sekarang, artinya harus ganti baru," kata Arief Poyuono kepada Tribun Network, Selasa (15/9).
Arief Poyuono mengisi posisi jabatan di kepengurusan Partai Gerindra sejak tahun 2008-2020.
Pada kepengurusan periode sebelumnya, Arief Poyuono menjabat sebagai Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra.
Selama 12 tahun berada di nomenklatur kepengurusan partai, sosok yang dikenal sebagai politikus 'nyeleneh' itu mengatakan telah gagal mengurus Partai Gerindra.
Kegagalan itu ditandai dengan kekalahan Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019.
"Saya merasa bahwa diri saya juga gagal dalam mengurus Partai Gerindra karena tidak bisa menjadikan Prabowo presiden. Itu tujuan saya, memenangkan Prabowo," jelas Arief Poyuono.
*Tak Diundang KLB Partai Gerindra*
Arief Poyuono mengatakan, ada kabar yang menyebut Partai Gerindra sedang melakukan upaya regenerasi kepengurusan.
Jajaran kepengurusan baru Partai Gerindra dikabarkan akan diisi kaum millenial.
Baca: Prabowo Baru Tunjuk Ahmad Muzani di Kepengurusan Baru Partai Gerindra
Namun Arief mengaku belum yakin akan kabar ini. Pasalnya, ia tidak diundang saat KLB Partai Gerindra yang menetapkan Prabowo Subianto menjadi Ketum berlangsung di Hambalang, Bogor dan disiarkan secara daring melalui Aplikasi Zoom beberapa waktu lalu.
"Yang saya dengar seperti itu (ada regenerasi kepengurusan), karena KLB saja saya tidak diundang. Tidak ada undangan ke saya ketika diselenggarakan KLB. Kan itu lewat Zoom, linknya saja saya tidak dikasih," tutur dia.
"Saya tidak apa-apa, tidak ada masalah. Dan memang saya pernah bicara dulu tahun 2017, kalau di Pilpres Prabowo kalah, saya akan mundur dari pengurus," katanya lagi.
Arief Poyuono meyakini pandemi Virus Corona atau Covid-19 menjadi salah satu pertimbangan Ketum Prabowo dalam meracik susunan kepengurusan baru Partai Gerindra.
Di mana menurut prediksi Arief, sosok muda seperti Rahayu Saraswati Djojohadikusumo atau Sara lebih dibutuhkan untuk mengurusi partai di tengah situasi Covid-19 saat ini.
"Tidak jadi (Waketum) memang karena satu, ini sudah Covid-19, saya meyakini ada tatanan baru politik di Gerindra. Sudah saatnya seorang Sara itu disiapkan untuk memimpin Partai Gerindra dengan segala pengalaman dia," jelas Arief Poyuono.
"Dia anak orang mampu, anak berpendidikan, tetapi dia sangat merakyat. Perasaan dia itu perasaan rakyat kecil, itu yang dimiliki Sara yang saya kenal bertahun-tahun," sambung dia.
*Kembali Mengurus Buruh, Petani, dan Nelayan*
Arief Poyuono menjelaskan, bila tak masuk dalam susunan kepengurusan Partai Gerindra periode 2020-2025, dirinya akan kembali mengurus serikat buruh tani dan nelayan yang telah lama ia tinggalkan karena sibuk mengurusi partai.
"Saya akan kembali ke habitat saya, yaitu ke masyarakat pekerja, petani, dan nelayan. Sepanjang saya di Gerindra, saya banyak meninggalkan mereka. Artinya kurang berjuang untuk mereka. Saya akan kembali ke masyarakat," ujar Arief Poyuono.
Arief mengatakan, ungkapannya ini tidaklah menunjukkan bahwa dirinya pasrah bila tidak lagi menjadi pengurus di Partai Gerindra. Bila dirinya dicopot dari kepengurusan, itu merupakan pandangan visioner Prabowo Subianto dalam membina Partai Gerindra ke depan.
Arief Poyuono pun memastikan akan tetap memberikan tenaga dan pikirannya untuk rakyat. Sama halnya saat mendukung Prabowo di Pilpres, yang dipandang Arief sebagai bentuk dedikasinya dalam memperjuangkan harapan rakyat.
"Saya tidak pernah mendedikasikan diri saya dalam berpolitik itu untuk Prabowo atau untuk Gerindra," katanya.
"Prabowo itu saya perjuangkan sebagai presiden dalam artian saya ingin mendedikasikan keinginan masyarakat agar Prabowo memimpin Indonesia, tetapi kan nyatanya gagal. Nyatanya masyarakat kan tidak mau dia," katanya lagi.
*Kasus-kasus HAM Masa Lalu Penyebab Kekalahan Prabowo Pada Pilpres 2019*
Arief Poyuono mengatakan, kekalahan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 dan 2019 disebabkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang kerap dikaitkan dengan sosok Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Sebagaimana telah terjadi, pada pilpres dan pemilu tahun 2014 dan 2019, isu terkait kasus penculikan dan pembunuhan aktivis 1998 berhembus kencang. Lalu juga kerusuhan Mei, yang disebut-sebut didalangi oleh Prabowo Subianto.
"Ada juga fitnah bahwa dia adalah pelaku utama kerusuhan Mei, terus dia dituding melakukan kejahatan-kejahatan yang sampai saat ini masih simpang siur, apakah dia pelaku penculikan dan pembunuhan para aktivis, kan belum ada pengadilannya," ucap dia.
"Setiap pemilu, setiap pilpres, selalu dibuka kasus penculikan, kasus kerusuhan Mei, bahwa diduga dalangnya Prabowo," katanya lagi.
Menurut Arief Poyuono, satu-satunya jalan bagi Prabowo Subianto untuk memenangkan pilpres 2024 yakni membebaskan dirinya dari jeratan kasus HAM masa lalu ini. Harus ada keputusan hukum yang tetap, yang menyatakan apakah Prabowo terlibat atau tidak di dalam pembunuhan dan penculikan aktivis, dan juga kerusuhan Mei.
"Karena itu saya sangat berharap bahwa dari trah keluarga Prabowo itu lahir pemimpin seperti Sara yang nantinya akan memimpin Partai Gerindra ke depan dan menjadi partai yang kuat, sangat maju," katanya.
"Kalau saya sendiri awalnya memang seorang pekerja. Artinya saya akan kembali ke situ lagi," sambung Arief Poyuono.