60 Calon Kepala Daerah Positif Covid-19, Ada 243 Pelanggaran Protokol Kesehatan
Sebanyak 60 bakal calon kepala daerah dinyatakan positif covid-19 berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan secara mandiri.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 60 bakal calon kepala daerah dinyatakan positif covid-19
berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan secara mandiri.
Sementara itu, total terjadi 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bapaslon saat mendaftarkan diri ke KPU. Pengabaian protokol kesehatan itu terjadi pada beberapa jenis.
Di antaranya ada bakal pasangan calon yang positif covid-19 saat mendaftar ke KPU, membuat arak-arakan dan kerumunan orang, tidak menjaga jarak hingga tidak melampirkan hasil pemeriksaan swab test saat mendaftarkan pencalonannya.
"Total 243 paslon melanggar aturan kampanye terkait protokol kesehatan. Pengabaian
protokol kesehatan yang terjadi, positif saat mendaftar, tidak jaga jarak, terjadi kerumunan, tidak melampirkan hasil pemeriksaan swab test saat mendaftar," ujar Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi dalam diskusi evaluasi penerapan protokol kesehatan di Pilkada Serentak 2020, Selasa (15/9/2020).
Saat ini 243 pelanggaran protokol kesehatan sudah diteruskan kepada aparat kepolisian untuk ditindaklanjuti.
KPU mengingatkan kepada bakal pasangan calon untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan dalam setiap tahapan.
Pada Pasal 11 ayat 1 Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020, sudah diatur mereka yang wajib melaksanakan protokol kesehatan.
Antara lain, seluruh penyelenggara pemilu, pasangan calon kepala daerah, tim kampanye, petugas dan relawan kampanye, petugas penghubung, pemilih dan pihak lain yang terlibat seperti pemantau dan media.
Sanksi atas pelanggaran tersebut diatur pada pasal selanjutnya. Pada pasal 11 ayat 2 pelanggaran terhadap protokol kesehatan, penyelenggara berhak memberikan teguran dan sanksi sesuai ketentuan perundang - undangan.
"Pasal 11 ayat 2 pelanggaran terhadap protokol kesehatan, penyelenggara berhak memberikan teguran dan sanksi sesuai ketentuan perundang - undangan," kata Raka.
Pihaknya memperbolehkan para kandidat Pilkada Serentak 2020 menggelar konser musik di tengah pandemi virus corona dalam rangka kampanye.
Hal itu diatur dalam pasal 63 ayat (1) PKPU Nomor 10 Tahun 2020. Raka mengatakan aturan itu sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, sehingga KPU mengikuti aturan tersebut.
"Bentuk-bentuk kampanye juga sudah diatur di situ, tentu KPU tidak bisa mengubah dan
meniadakannya," ujar Raka.
Pasal 63 PKPU Nomor 10 Tahun 2020 mengatur tujuh jenis kegiatan yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jenis-jenis kegiatan itu ialah rapat umum; kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; perlombaan; kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah.
Kemudian, peringatan hari ulang tahun Partai Politik; dan/atau melalui media online.
Sebenarnya lanjut Raka, KPU punya banyak rencana membuat aturan yang lebih progresif terkait pandemi. Namun niat itu tak bisa serta-merta dilakukan karena harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. PKPU harus sesuai dengan apa yang diatur dalam UU Pilkada.
"Maka selain kampanye tatap muka secara langsung dalam bentuk terbatas, termasuk kampanye jenis lainnya, kami mendorong pemanfaatan teknologi informasi," ujarnya.
Kemudian pada Pasal 63 Ayat 2 PKPU No. 10 tahun 2020 diatur bahwa maksimal peserta kampanye rapat umum di tempat terbuka adalah 100 orang.
Setiap peserta juga wajib menjaga jarak minimal 1 meter. Raka menjelaskan itu semua usai Deputi I Sistem dan Strategi BNPB Bernardus Wisnu Widjaja mempertanyakan alasan KPU membolehkan kegiatan berupa konser musik di tengah pandemi covid-19.
"Masih membolehkan konser musik dan perlombaan di pasal 63 (PKPU Nomor 10 Tahun 2020). Ini mungkin juga harus diperhatikan karena ada pengumpulan massa dan ada arak-arakan, perlu diantisipasi," kata Wisnu.
Ketua Bawaslu RI Abhan mengatakan Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada belum mengatur sanksi diskualifikasi bagi Calon Kepala Daerah pelanggar protokol kesehatan.
"Terkait pelanggaran protokol kesehatan ini, Undang - Undang 10, tidak cukup memadai untuk mendiskualifikasi pasangan calon," ujar Abhan.
Abhan menegaskan penyelenggara pemilu yakni Bawaslu, KPU dan DKPP bekerja berdasarkan Undang - Undang.
Selama peraturan perundang - undangan tidak mengatur sanksi diskualifikasi bagi pelanggar protokol kesehatan, maka penyelenggara pemilu tidak akan bisa melampaui hal tersebut.
"Kami Bawaslu, KPU dan DKPP ini penyelenggara. Kerja atas dasar Undang - Undang. Selama Undang - Undang ada sanksi diskualifikasi, tentu akan kami lakukan diskualifikasi. Kalau nggak ada maka kami tidak bisa melampaui itu," kata dia.
Baca: Stok Peti Jenazah di Depok Menipis karena Lonjakan Kasus Covid-19
Jika pelanggaran protokol kesehatan mau dikenai sanksi tegas tersebut, pemerintah dan DPR bisa merevisi UU 10/2016. Mengingat proses revisi cukup panjang, sementara tahapan Pilkada sudah berjalan, hal paling mungkin adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang -Undangan (Perppu).
"Jadi kalau mau dikehendaki dengan tegas saya kira ada jalan yang harus ditempuh
adalah revisi Undang - Undang, tapi nggak mungkin dalam waktu ini. Paling mungkin adalah Perppu kalau mau ada sanksi tegas diskualifikasi bagi kandidat yang tidak mematuhi protokol kesehatan," jelas Abhan.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyesalkan kejadian pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bakal pasangan calon kepala daerah saat mendaftar ke KPU.
Berdasarkan data Bawaslu, tanggal 4 - 6 September kemarin, didapati 243 pelanggaran protokol kesehatan oleh bapaslon, karena melakukan arak - arakan massa.
"Kita menyesalkan ada kejadian di tanggal 4 - 6 September," kata Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar.
Baca: Pimpinan DPR Minta KPU Memastikan Pelaksanaan Pilkada 2020 Terapkan Protokol Kesehatan Covid-19
Padahal, lanjut Bahtiar, Mendagri Tito Karnavian mendorong adanya tema besar di Pilkada 2020 yakni bagaimana peran serta ide gagasan para calon kepala daerah menghadapi Covid-19 dan dampaknya terhadap ekonomi.
Baca: Kasus Covid-19 Melonjak, Kapasitas Ruang ICU Rumah Sakit di Kabupaten Bekasi Nyaris Penuh
Pilkada di tengah pandemi diharapkan mampu menghasilkan pemimpin yang punya kemampuan memimpin lebih baik dari pelaksanaan Pilkada di kondisi biasa.
Baca: Evaluasi Tahapan Pilkada, Kemendagri Sesalkan Banyaknya Pelanggaran Protokol Kesehatan
Sebagai upaya melawan Covid-19, salah satu yang paling mendasar yakni mengajak masyarakat disiplin protokol kesehatan, tidak membuat kegiatan yang menciptakankerumunan.
"Pak Mendagri mendorong ada tema besar dalam Pilkada 2020, yaitu peran kepala daerah menghadapi covid-19 dan dampak ekonominya," tutur dia.
"Tapi justru terbalik, pada tanggal 4 - 6 itu mempertontonkan hal yang bertentangan dengan upaya kita melawan Covid-19. Kemudian kita tegur mereka yang merupakan incumbent," kata dia.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad mengaku
mendapat pesan dari salah seorang tokoh nasional yang menyarankan dirinya berbicara
dengan Presiden untuk kembali menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Kata
Muhammad, pesan itu disampaikan dengan turut menjabarkan sejumlah pertimbangan.
"Subuh tadi saya mendapat Whatsapp dari seorang tokoh. Kalau saya menyebut tokoh
ini saya memastikan kita semua tahu tokoh ini. Dia mengatakan Prof Muhammad,
segera sampaikan ke Presiden tunda Pilkada ini, dengan sejumlah pertimbangan," kata
Muhammad.
Berkaitan dengan usulan itu, DKPP bakal mendiskusikannya bersama penyelenggara
pemilu lain yakni KPU dan Bawaslu.Namun lebih lanjut Muhammad menjelaskan
penundaan Pilkada tak bisa dilakukan sepanjang pemerintah pusat dan DPR tetap
memilih tanggal 9 Desember sebagai opsi optimis.
"Tapi sepanjang pemerintah di tingkat pusat, dan DPR itu tetap mengatakan 9
Desember sebagai opsi optimis, maka tidak ada pilihan," tuturnya.(Tribun
Network/dan/wly)