Muhammadiyah Siap Gugat Pemerintah Jika Pilkada Jadi Klaster Covid-19
Pimpinan Pusat Muhammadiyah bakal menggugat pemerintah jika gelaran pilkada serentak menimbulkan klaster Covid-19.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Sanusi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Pusat Muhammadiyah bakal menggugat pemerintah jika gelaran pilkada serentak menimbulkan klaster Covid-19.
Hal itu disampaikan, Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Abdul Rohim Gazali dalam keterangannya, Kamis (24/9/2020).
Ia mengungkapkan, Muhammadiyah tetap menyarankan pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020 ditunda.
Baca: 7 Alasan LSI Denny JA Mengapa Pilkada Serentak Tak Harus Ditunda
Meskipun ada ketentuan penerapan protokol kesehatan secara ketat, tapi menurutnya sama sekali tidak bisa menjadi jaminan Pilkada aman dari penyebaran Covid-19.
“Muhammadiyah akan mengawal pilkada serentak tapi kami juga tetap berpendirian bagaimana pun pilkada serentak harus ditunda, Kami akan menggugat pemerintah jika kasus Covid 19 usai pilkada 9 Desember mengalami kenaikan," ujarnya.
Dia melanjutkan, pelaksanaan pilkada berbahaya, jika melihat saat tahapan pendaftaran bakal calon 4-6 September 2020 lalu, telah terjadi 243 pelanggaran protokol kesehatan.
Baca: Pasca NU & Muhammadiyah Desak Pilkada Ditunda, Protokol Kesehatan di Tahapan Pemilu Dinilai Membaik
PP Muhammadiyah khawatir protokol kesehatan yang ditetapkan tidak berjalan maksimal.
"Agama atau keyakinan dan menjaga nyawa, itu di atas segala galanya kalau harta dan akal mungkin bisa disembuhkan tapi nyawa tidak, makanya itu tadi ini gambling yang sangat berbahaya karena pertaruhkan nyawa rakyat,” ujar Rohim.
Ia menambahkan, pilkada Serentak nanti juga dikhawatirkan menelan banyak korban mengingat, pada Pilkada 17 April 2019 lalu, banyak petugas yang meninggal.
Baca: Bamsoet Ingatkan Pelaksanaan Pilkada Serentak Harus Dibarengi Penerapan Protokol Kesehatan Ketat
“Dan kita punya pengalaman pada 17 april tahun lalu, ada 469 pekerja pemilu yang meninggal karena kelelahan, ini gak bisa dibayangkan para pekerjanya sudah kelelahan sementara mereka juga harus berhadapan dengan pandemi, sementara virus korona ini kan sangat mudah menjangkiti orang yang kelelahan, itu untuk penyelenggara bukan lagi untuk peserta,” katanya.
Sampai saat ini diketahui, pemerintah bersama DPR tetap memutuskan pelaksanaan pilkada serentak sesuai jadwal, sesuai hasil rapat gabungan bersama Komisi II DPR Senin lalu.
Masukan penundaan pilkada tak hanya datang dari ormas namun datang juga dari perkumpulan profesi tenaga medis dan kesehatan.
4 Alasan Presiden Jokowi Tetap Lanjutkan Pelaksanaan Pilkada
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap melanjutkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 .
Pertama, menurut Mahfud yakni menjamin hak konstitusional rakyat untuk dipilih dan memilih sesuai dengan agenda yang telah diatur dalam undang-undang dan atau dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Kedua, pandemi Covid-19 belum bisa diketahui kapan akan berakhir.
Baca: Anggaran Melonjak Rp 20,46 Triliun Jika Pilkada Serentak Jadi Digelar
Karena itu, apabila Pilkada ditunda sampai Pandemi selesai, maka akan menimbulkan ketidakpastian.
"Karena tidak ada satupun orang atau lembaga yang bisa memastikan kapan Covid-19 akan berakhir. Di negara-negara yang serangan Covid-19 lebih besar seperti Amerika sekalipun Pemilu juga tidak ditunda. diberbagai negara juga berlangsung, pemilu tidak ditunda," kata Mahfud MD saat membuka rapat koordinasi bersama KPU dan seluruh Sekjen partai politik, Selasa (22/9/2020).
Ketiga, Presiden juga menurut Mahfud tidak ingin daerah yang menggelar Pilkada hanya dipimpin pelaksana tugas alias Plt dalam waktu bersamaan.
Baca: KPU Finalisasi Draf Revisi PKPU Tentang Penyelenggaraan Pilkada Saat Pandemi Covid-19
Karena Plt itu tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan strategis.
"Sedangkan situasi sekarang di dalam Covid-19 kebijakan-kebijakan strategis yang berimplikasi pada penggerakan birokrasi dan sumber daya lain seperti dana itu memerlukan pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang sifatnya strategis," katanya.
Baca: Jika Pilkada Tak Ditunda, Epidemiolog Minta KPU Rombak Aturan: Hilangkan Pertemuan Tatap Muka
Keempat, menurut Mahfud, pemerintah telah menunda Pilkada sebelumnya dari 23 September ke 9 Desember.
Karena itu, yang harus dilakukan sekarang adalah mengantisipasi masifnya penyebaran Covid-19, bukan menundanya lagi.
"Penundaan sebenarnya sudah pernah dilakukan untuk menjawab suara-suara masyarakat yang menginginkan tunda itu. Nah yang diperlukan sekarang sebagai antisipasi masih masifnya penularan Covid-19 seperti dikhawatirkan baik oleh pemerintah maupun oleh kelompok atau masyarakat yang menginginkan agar ditunda yang diperhatikan sama yaitu masifnya penularan Covid-19," katanya.