KPK Ingatkan MA Soal Perma Pemidanaan Imbas Masih Ada 38 Koruptor yang Ajukan PK
Melalui Perma itu diharapkan tidak ada lagi disparitas hukuman terhadap pelaku korupsi terutama yang melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan dan mendorong Mahkamah Agung (MA) untuk menyosialisasikan Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Melalui Perma itu diharapkan tidak ada lagi disparitas hukuman terhadap pelaku korupsi terutama yang melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
"KPK mendorong agar Perma dimaksud segera di sosialisasikan kepada para hakim baik tingkat pertama, banding, kasasi dan tentu juga Peninjauan Kembali (PK)," kata Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Senin (5/10/2020).
Baca: Dua Adik Ipar Mantan Sekretaris MA Nurhadi Diperiksa KPK
Perma ini dinilai penting sebagai standarisasi pemidanaan koruptor.
Apalagi, mengingat masih terdapat 38 terpidana korupsi yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan belum diputus MA.
Dari 38 terpidana korupsi yang permohonan PK-nya belum diputus MA, terdapat sejumlah koruptor yang dihukum berdasarkan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor.
Beberapa di antaranya, tiga terpidana kasus korupsi proyek e-KTP, yakni mantan Ketua DPR Setya Novanto; Direktur Utama PT Quadra Solution; Anang Sugiana, Made Oka Masagung.
Selain itu terdapat nama mantan Kakorlantas Djoko Susilo yang menjadi terpidana korupsi proyek simulator SIM serta mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang menjadi terpidana perkara korupsi Bank Century, Budi Mulya.
Baca: KPK Tidak Persoalkan Pegawai Undur Diri Karena Kondisi Internal Berubah
Sementara, sejak 2019 hingga saat ini, terdapat 23 terpidana korupsi yang hukumannya dikurangi MA melalui putusan PK.
Terakhir, MA mengabulkan PK yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Dalam amar putusannya Majelis PK MA menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara terhadap terpidana kasus korupsi pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang dan tindak pidana pencucian uang tersebut.
Dengan demikian, hukuman Anas berkurang 6 tahun dibanding putusan Kasasi yang menghukumnya 14 tahun penjara.
KPK khawatir pengajuan PK menjadi modus koruptor untuk mendapat keringanan hukuman.
Hal ini lantaran sebagian besar terpidana korupsi yang mengajukan PK tak mengajukan banding atau menerima putusan pengadilan tingkat pertama.
"Terlebih adanya fenomena para napi koruptor mengajukan PK setelah sebelumnya menerima hukuman ditingkat PN. Ini harus dicermati bersama, ada apa sehingga mereka ramai-ramai mengajukan PK," kata Ali.
Tak hanya Perma pedoman pemidanaan pasal 2 dan Pasal 3, KPK juga mendorong MA menerbitkan peraturan sejenis untuk pedoman pemidanaan pasal-pasal korupsi lainnya seperti pasal suap, pemerasaan dan lainnya.
Hal ini mengingat sebagian besar perkara yang ditangani KPK merupakan pasal suap.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya menghormati apapun putusan pengadilan termasuk Majelis Hakim PK yang kerap mengurangi hukuman terpidana korupsi.
KPK meminta MA segera mengirimkan salinan putusan agar dapat mempelajari pertimbangan Majelis Hakim.
Namun, Alex menyoroti fenomena banyaknya koruptor yang mengajukan PK, padahal, sebelumnya menerima putusan Pengadilan Tipikor dengan tidak mengajukan banding atau kasasi.
"Fenomena belakangan ini kan ketika di tingkat pertama terdakwa itu langsung menerima putusan dia tidak mengajukan banding, kasasi tapi langsung PK. Ini juga fenomena menarik. Ketika di tingkat pertama dihukum 10 tahun ya menerima tetapi dalam menjalani hukuman dieksekusi pidana baru 6 bulan dia sudah mengajukan PK," kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (2/10/2020).
Dengan fenomena ini, dikhawatirkan PK menjadi modus koruptor untuk mendapat keringanan hukuman.
Apalagi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan PK hanya berhak diajukan oleh terpidana dan ahli warisnya.
Dengan demikian, KPK sebagai Jaksa Penuntut tidak dapat berbuat apapun atas putusan PK tersebut.
"Kalau Majelis PK tiba-tiba dikurangi menjadi 5 tahun tentu dilihat dari tuntutan jaksa hukuman setelahnya, tapi kami kan tidak mungkin mengajukan PK sesuai dengan putusan MK," kata Alex.