Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Politikus Demokrat: Zaman SBY Jadi Presiden Tak Ada RUU Diputuskan Hari Sabtu Malam

Pembicaraan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang digelar, Sabtu (3/10/2020) malam mengundang pertanyaan besar publik.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Politikus Demokrat: Zaman SBY Jadi Presiden Tak Ada RUU Diputuskan Hari Sabtu Malam
dok. DPR RI
Benny K Harman. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembicaraan keputusan Tingkat I RUU Cipta Kerja yang digelar, Sabtu (3/10/2020) malam mengundang pertanyaan besar publik.

Anggota Panja Baleg RUU Cipta Kerja Benny K Harman menilai pengambilan keputusan suatu RUU digelar hari Sabtu tidak wajar, apalagi digelar malam hari.

Benny mengatakan RUU tersebut sarat dengan kepentingan politik.

Baca: Indef: Pembahasan RUU Cipta Kerja Terburu-buru dan Tidak Lewat Kajian Mendalam

Hal itu disampaikannya dalam webinar bertajuk 'Kontroversi RUU Ciptaker: Percepatan Ekonomi dan Rasa Keadilan Sosial', Minggu (4/10/2020) malam.

"Apakah kepentingan salah? Tidak salah. Dulu kita berkuasa tapi semua kita tahu Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dulu jadi presiden itu tidak pernah ada pembahasan RUU begini. Dikasih keleluasaan di DPR untuk dibahas dan tidak pernah ada RUU yang diputuskan pada hari Sabtu atau hari Minggu, tidak ada itu, boleh dicatat, saya cek lagi tadi tidak pernah ada," ucap Benny.

"Coba bayangkan ini Sabtu loh istilahnya pada saat masyarakat Indonesia sedang tidur lelap mereka mengambil keputusan yang menyangkut nasib rakyat, nasib Indonesia," imbuhnya.

Baca: Komnas Perempuan: RUU Cipta Kerja Menurunkan Standar Perlindungan terhadap Buruh Perempuan

Berita Rekomendasi

Menurut Benny, sangat wajar kalau publik terutama kalangan buruh dan pekerja melakukan aksi demo.

Partai Demokrat sendiri sudah menyampaikan penolakannya terhadap RUU Cipta Kerja.

Sebab, RUU tersebut dinilai hanya memberikan karpet merah kepada para pengusaha.

"Jadi bukan soal biasa, ini menjadi soal yang sangat sangat serius. Oleh sebab itu bagi kita kalau hanya untuk memberi ruang kepada pengusaha atau pelaku usaha sebetulnya Undang-Undang yang berlaku selama ini sudah cukup baik, yang belum baik itu pelaksanaannya," katanya.

Baca: Partai Demokrat Kritik Tak Ada Rasa Keadilan Sosial dalam RUU Cipta Kerja

"Mengapa pelaksanaannya tidak kita perbaiki? mengapa penengakan hukumnya tidak kita koreksi? nah ini menurut saya sangat penting untuk menjadi perhatian kita," kata Benny.

Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I yang digelar DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10/2020) menghasilkan kesepakatan bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan dibawa ke rapat paripurna.

Dalam rapat itu, diketahui hanya dua fraksi yang menyatakan penolakan terhadap RUU Ciptaker yakni Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pembahasan RUU Cipta Kerja Terburu-buru

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, Badan Legislasi (Baleg) DPR terlalu terburu-buru dalam membahas dan menggesa pengesahan RUU Cipta Kerja.

Pada Sabtu (3/10/2020) malam, dalam pembicaraan Tingkat I, DPR dan pemerintah sepakat RUU Cipta Kerja akan dibawa ke Rapat Paripurna.

Menurut Bhima, banyak pasal-pasal substantif yang harus dikaji secara mendalam.

"Pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja terlalu terburu-buru padahal banyak pasal substantif yang harus dikaji secara lebih mendalam," kata Bhima saat dihubungi Tribunnews, Minggu (4/10/2020).

Baca: Fraksi PKS dan Demokrat Resmi Tolak RUU Cipta Kerja, Alasannya Ini

Bhima mencontohkan beberapa pasal yang dianggapnya bermasalah, yaitu terkait dengan keterbukaan impor pangan.

Hal itu akan merugikan petani, hanya karena ditekan pihak asing lalu regulasi perlindungan petani dirubah secepat kilat.

Baca: KSBSI Klaim Tak Akan Ikut AksI Mogok Nasional Tolak RUU Cipta Kerja, Ini Alasannya

"Ini kontradiktif terhadap upaya meningkatkan kemandirian pangan. pemerintah buat food estate, cetak sawah tapi pintu impor dibuka sebebas-bebasnya melalui omnibus law cipta kerja. Ketika ditanya mana kajiannya, mereka tidak bisa jawab. kan ini lucu ya," ucapnya.

Kemudian, terkait pasal di klaster ketenagakerjaan juga dibahas tanpa memperhitungkan dampak pada nasib pekerja yang rentan kena PHK.

Pesangon dikurangi padahal, semua tahu dalam kondisi resesi, pekerja butuh perlindungan.

Menurutnya, jika model regulasi yang mengatur banyak hal dibahas secepat ini, dia khawatir investasi justru tidak naik pasca-omnibus law diserahkan.

"Hal ini karena Investor dari negara maju sangat memandang serius hak-hak pekerja. Decent labor dan fair labor itu menjadi standar investasi internasional. Msalnya ada pabrik tekstil mau relokasi ke Indonesia, kemudian dilihat ternyata hak-hak pekerja dengan disahkannya omnibus law berkurang signifikan," ujarnya.

"Ini kemudian membuat brand internasional urung berinvestasi dan mencari negara lain. sayangnya yang membuat omnibus law cipta kerja ini tidak menyadari kesalahan fatal tersebut," pungkas Bhima.

Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I yang digelar DPR dan pemerintah pada Sabtu (3/10/2020) menghasilkan kesepakatan bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja akan dibawa ke rapat paripurna.

Dalam rapat itu, diketahui hanya dua fraksi yang menyatakan penolakan terhadap RUU Ciptaker yakni Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas