Ada Dua Langkah Batalkan Undang-Undang Cipta Kerja Setelah Disahkan DPR
Dalam pembahasan UU Cipta Kerja saat masih dalam RUU, Fraksi PKS telah menyatakan penolakannya dengan beberapa
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Cipta Kerja menuai polemik di masyarakat, setelah disahkan DPR bersama pemerintah pada rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).
Sekretaris Fraksi PKS DPR Ledia Hanifa Amalia mengatakan, UU Cipta Kerja akan secara otomatis efektif pada 30 hari sejak disahkan DPR pada rapat paripurna, baik itu ditandatangani Presiden RI atau tidak.
"Kalau sudah berlaku, maka caranya kalau mau menolak, pilihannya cuman dua," ucap Ledia dalam webinar, Minggu (11/10/2020).
Baca: Polisi Tahan 14 Orang Tersangka Terkait Rusuh Demo Omnibus Law UU Cipta Kerja
Pilihan pertama, kata Ledia, mendorong Presiden RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut UU Cipta Kerja.
"Kedua, masyarakat sipil menggugat judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk mempertanyakan muatan-muatan di dalam undang-undang itu," paparnya.
Baca: Seorang Dosen jadi Korban Salah Tangkap saat Demo Tolak UU Cipta Kerja, Dipukuli hingga Babak Belur
Menurutnya, dalam pembahasan UU Cipta Kerja saat masih dalam RUU, Fraksi PKS telah menyatakan penolakannya dengan beberapa asalan.
Alasan pertama yakni, RUU yang diusulkan oleh pemerintah ini, seharusnya dilakukan public hearing kepada masyarakat, dengan meminta masukan kepada para ahli dan khalayak umum.
“Walaupun RUU ini diusulkan oleh pemerintah, seharusnya kedua belah pihak yakni pemerintah dan DPR lebih banyak meminta masukan kepada para pakar, ormas, civil society, para profesional dan banyak lagi stakeholder yang harusnya dilibatkan dalam pembahasan RUU ini," ujarnya.
Baca: UU Cipta Kerja Disahkan, Fahri Hamzah: Anggota DPR Bekerja untuk Rakyat atau Kepentingan Lain?
Dengan tidak melibatkan banyak stakeholder, kata Ledia, permasalahan utamanya akan berdampak pada RUU yang menyangkut lebih dari 79 UU dan 1.200 pasal.
Akan tetapi, Ledia menilai, secara pasal perpasal serta substansi belum dijelaskan lebih mendalam dan rinci.
Artinya belum ada proses transparansi terhadap masyarakat maupun beberapa Anggota Baleg.
“Dari mulai lingkungan hidup seperti pelestarian fungsi hutan yaitu 30 persen fungsi hutan di daerah aliran sungai. Termasuk juga kedaulatan pangan artinya hal-hal yang terkait kemandirian bangsa dan negara belum tercermin di dalam UU ini,” papar Ledia.