Rugikan Negara Rp 16,8 Triliun, Empat Terdakwa Kasus Jiwasraya Dihukum Seumur Hidup
Para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama di Asuransi Jiwasraraya.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup kepada empat terdakwa kasus korupsi atas pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Jiwasraya (AJS).
Keempatnya adalah mantan Direktur Utama PT AJS, Hendrisman Rahim; Mantan Direktur Keuangan PT AJS, Hary Prasetyo; Mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT AJS, Syahmirwan; dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto.
Hakim menilai, para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama di Asuransi Jiwasraya hingga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 16,8 triliun.
Baca juga: Pieter Rasiman Ditetapkan Sebagai Tersangka Baru dalam Kasus Jiwasraya
Mereka dinilai telah melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Mengadili, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan hukuman pidana penjara seumur hidup," ucap Hakim Ketua Susanti saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (12/10/2020) malam.
Baca juga: Terkait Putusan Kasus Jiwasraya, Kuasa Hukum Bantah Joko Hartono Tirto Kendalikan MI
Dalam menjatuhkan hukuman, Hakim menuturkan hal yang memberatkan.
Yakni perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Perbuatan korupsi dilakukan dalam kurun waktu yang cukup panjang yakni 10 tahun.
Selain itu perbuatan mereka dinilai Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) yang berimplikasi kepada kesulitan ekonomi para nasabah PT Asuransi Jiwasraya.
Hal itu, menurut hakim, membuat kepercayaan masyarakat menurun terhadap perasuransian dan investasi.
"Hal meringankan terdakwa belum pernah dihukum," kata hakim.
Tindak pidana korupsi terkait Jiwasraya ini telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp16,8 triliun.
Angka itu berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara Atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada periode Tahun 2008 sampai 2018 Nomor: 06/LHP/XXI/03/2020 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Vonis ini sama dan/atau lebih berat dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.
Sebelumnya, Hendrisman Rahim dituntut dengan pidana 20 tahun penjara; Hary Prasetyo dituntut seumur hidup; Syahmirwan dituntut 18 tahun penjara; dan Joko Hartono Tirto dituntut pidana seumur hidup.
Bantah Kendalikan
Penasihat Hukum Direktur Utama PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto yakni Soesilo Aribowo membantah mengendalikan sejumlah Manajer Investasi (MI) melakukan pembelian saham-saham untuk investasi PT Asuransi Jiwasraya.
“Bagaimana mungkin dia (Joko Hartono Tirto_red) mengendalikan Jiwasraya?. Jadi, dia tidak mungkin bisa mengendalikan Jiwasraya,” tegasnya usai pembacaan tuntutan persidangan kasus Perkara Pidana Nomor : 33/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (12/10/2020).
Selain jumlah sahamnya banyak, Joko Hartono Tirto bukan pejabat Asuransi Jiwasraya.
Kondisi ini mengkonfirmasikan, Joko Hartono tidak memiliki wewenang mengendalikan asuransi tertua di Indonesia.
“Itu tidak nalar menurut saya. Dia (Joko Hartono_red) tidak punya kemampuan untuk mencegah pilihan investasi oleh Jiwasraya, Nggak bisa,” ulasnya.
Soesilo mengaku, tuntutan mengendalikan sejumlah MI juga sangat tidak masuk akal.
Karena itulah, pertimbangan yang dibuat majelis hakim dalam menjatuhkan tuntutan tidak sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan.
“Dan lebih ke copy paste dari surat tuntutan Jaksa,” tuturnya.
Lebih lanjut, Soesilo mengatakan tuntutan Majelis Hakim ini mengagetkan. Pasalnya, ini perkara yang sulit, baik untuk Jaksa maupun Majelis Hakim.
“Terus terang saya kaget dan mengecewakan. Karena, saya pikir, ini perkara yang sulit bagi Jaksa,” ulasnya.
Menurutnya, perkara pasar modal ini sangat rumit. Hal ini membuat Jaksa tidak mudah mengurai perkara ini.
Sisi lain, Jaksa diberi waktu sangat singkat membuat tuntutan sehingga terkesan tidak siap.
Ketidaksiapan Jaksa jelas Soesilo terlihat dari materi tuntutan dan dakwaan yang dibuat Jaksa yang selalu berubah. Hal semacam ini sebenaranya tidak boleh dilakukan oleh Jaksa.
“Saya sudah 30 tahun menjadi pengacara. Dan baru kali ini saya alami surat tuntutan itu berubah dan ditambahkan di replik.” urainya.
Lebih jauh lagi, Soesilo mengatakan pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan tuntutan tidak maksimal.
Betapa tidak, pengadilan dalam waktu singkat harus menyerap apa yang menjadi fakta-fakta pasar modal itu.
“Dan ini sangat sulit sekali,” katanya.
Layak Dihukum Berat
Anggota Komisi III DPR menyebut terdakwa dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dengan kerugian negara mencapai Rp 16,8 triliun pantas dapat hukuman yang berat.
“Tentu harus dihukum berat. Berdasarakan Undang-Undang Tipikor, tuntutan ini pas berdasarkan dengan fakta yang muncul,” kata Anggota Komisi III DPR Habiburokhman saat dihubungi, Jakarta, Minggu (11/10/2020).
Tanpa berniat mengintervensi pengadilan, Komisi III selaku komisi yang membawahi bidang hukum, menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) setidaknya memperlihatkan keseriusan dalam penegakan hukum.
“Ini pantas dan harus yang berat. Dengan tidak mengintervensi pengadilan, hal ini sudah terlihat fraud dan akal-akalan."
"Biasanya dalam putusan nanti peran masing-masing akan disebutkan, dan itu akan jadi pemberat para terdakwa,” ujar Habiburokhman.
Selain itu, Ia menyebut penyitaan aset atau perampasan hasil korupsi akan membantu keuangan negara, dalam hal kewajiban untuk membayar polis nasabah asuransi pelat merah tersebut.
“Pengembalian aset itu penting, dan hal tersebut jadi salah satu yang harus di kejar," ucapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.