Buruh Was-was Hasil Uji Materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi
Serikat buruh mengaku was-was, jika harus memperjuangkan Undang-undang Cipta Kerja melalui jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) Arif Minardi mengaku was-was, jika harus memperjuangkan Undang-undang Cipta Kerja melalui jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Katakanlah kami juga was-was di MK itu. Terus terang sajalah bahwa kami curiga bahwa MK tidak netral," kata Arif dalam konferensi pers secara virtual, Senin (12/10/2020).
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan, ujar Arif, federasi buruh mengajukan judicial review. Namun ia memastikan, pihaknya akan lebih dahulu mempelajari undang-undang yang baru terkait Mahkamah Konstitusi.
"Tentang khusus judicial review. Pertama, kami akan mempelajari dulu tentang undang-undang yang baru tentang MK. Karena, undang-undang yang lama sebelumnya direvisi," ujarnya.
"Undang-undang yang baru saya mendapat masukan bahwa hasil MK itu bisa diabaikan oleh pemerintah. Pemerintah bisa mengabaikan MK, hasil keputusan MK gitu."
"Maka kita akan cobal mempelajari dulu undang-undang MK tentang kemungkinannya. Kita juga harus review semua dan apakah efektif ke MK," sambungnya.
Selain persiapan ke Mahkamah Konstitusi, para buruh juga menyiapkan sejumlah agenda lanjutan penolakan UU Cipta Kerja, seperti kembali berunjuk rasa, atau melalui eksekutif dan legislatif review.
"Jadi begini, kita akan melakukan semua gerakan atau antisipasi atau apapun yang semuanya sesuai undang-undang, mulai aksi unjuk rasa, kemudian ada eksektuif review, ada legislatif review, juga menurut pakar hukum termasuk judicial review," jelas Arif.
DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS) secara resmi menggugat UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal yang menyinggung ketenagakerjaan.
Dilansir dari website resmi MK, dalam permohonannya, DPP FSPS meminta UU Cipta Kerja yang mengatur hak-hak buruh yang merugikan buruh untuk dihapus. Hak yang dimaksud diminta agar dimaknai:
1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
2. Biaya pulang untuk buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja.
3. Penggangian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 persen dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Mereka juga meminta upah minimun memperhatikan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Ikut menggugat pula karyawan kontrak Dewa Putu Riza dan freelance Ayu Putri.
"Dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja yang meniadakan batas waktu PKWT telah menghalangi pekerja kontrak untuk dapat menjadi pekerja tetap yang berhak atas pesangon, dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak," ujar Dewa dan Ayu yang memberikan kuasa kepada Seira Herlambang dan Zico Simanjuntak.
Legislative Review
Presiden KSPI Said Iqbal masih berharap agar UU Cipta Kerja dibatalkan oleh Presiden RI Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Namun jika presiden tak menanggapinya, Said berharap DPR RI untuk melakukan uji legislasi atau legislative review terhadap UU Cipta Kerja.
"Ini harapan ya, kalau Perppu tidak dikeluarkan oleh presiden, maka sebaiknya DPR melakukan uji legislasi terhadap hasil produk mereka, UU Omnibus Law Cipta Kerja."
"Dalam hukum tata negara namanya adalah legilatif review, itu bisa dilakukan dan itu
harapan kita," ujar Said.
Bila DPR RI akan melakukan uji legislasi tersebut, Said mengatakan pihaknya tentu tidak perlu berselisih lagi di Mahkamah Konstitusi. Dia juga mengingatkan bahwa di MK, masyarakat termasuk serikat buruh dan buruh bisa melakukan dua gugatan yang berbeda.
Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, 50.000 Buruh dari Banten Akan Kembali Gelar Unjuk Rasa di Depan Istana Negara
Salah satunya adalah gugatan uji formil. Seperti perihal prosedur UU Cipta Kerja ini sesuai atau tidak dengan UUD 1945 dan lain sebagainya, termasuk perihal halaman yang berubah-ubah.
Menurutnya DPR lebih melakukan legislative review daripada nantinya ternyata terbukti bahwa UU Cipta Kerja memiliki cacat formil atau uji formilnya cacat.
"Sekarang kalau pak Presiden nggak mau meneken Perppu dan melakukan eksekutif review, maka sekarang tinggal DPR (harapannya)."
Baca juga: AHY Dituduh Dalang Aksi Tolak UU Cipta Kerja, Itu Menyerang Saya dan Partai Demokrat
"Daripada nanti DPR dipermalukan di hadapan rakyat, uji formilnya itu saja sudah kelihatan mulai dari halaman-halaman berubah, disahkan harusnya tanggal 8 Oktober tiba-tiba jadi tanggal 5 Oktober, kemudian tidak maksimal melibatkan public hearing."
"Itu kalau uji formil kalah DPR dan pemerintah, gugatan kami serikat buruh dimenangkan oleh MK, maka semua batal," ungkapnya.
Baca juga: SBY Tak Yakin Dirinya yang Dituduh Sebagai Aktor di Balik Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja
Padahal, kata Said, di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja juga berisikan pasal yang baik, tak semuanya pasal yang tidak baik. Salah satunya perihal masalah investasi.
Untuk pasal yang tidak baik atau kontroversial menurut Said adalah yang berkaitan dengan klaster ketenagakerjaan karena mengurangi hak-hak buruh ataupun klaster lain yang dipersoalkan oleh gerakan sosial lain.
Seperti masalah AMDAL, masalah HAM, masyarakat adat oleh pegiat HAM, masalah tanah oleh petani, masalah izin usaha penangkapan ikan oleh nelayan, hingga masalah pemerintah daerah.
"Pasal-pasal itu saja yang kita persoalkan dan klaster ketenagakerjaan tentu. Tapi kalau uji formilnya cacat formil, akhirnya kan malu. Jadi lebih baik legislative review, itulah yang kita bisa sampaikan berdasarkan perubahan halaman-halaman," ujarnya.(Tribun Network/dit/rin/wly)