1 Tahun Pemerintahan Jokowi: Survei Melorot, Mosi Tidak Percaya hingga Rapor Merah dari PKS
Survei Kompas tersebut dilakukan dengan metode wawancara telepon terhadap 529 responden yang berusia minimal 17 tahun di 80 kabupaten/kota di 34 provi
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf mengalami banyak persoalan.
Mulai dari revisi UU KPK hingga munculnya UU Cipta Kerja yang disahkan DPR beberapa hari yang lalu.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga menunjukkan akan berhenti, persoalan ekonomi dan keamanan dalam negeri juga ikut mencuat.
Seperti apa kondisi 1 tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, berikut rangkuman Tribunnews.com, Selasa (20/10/2020).
1. Survei melorot
Hasil survei Litbang Kompas terbaru menunjukkan, sebesar 46,3 persen responden merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Ma’ruf Amin selama satu tahun terakhir.
Baca juga: 1 Tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf, Survei Litbang Kompas: 46,3% Responden Tak Puas, 39,7% Puas
Survei tersebut juga menunjukkan adanya responden yang merasa sangat tidak puas dengan persentase 6,2 persen.
Hasil itu didapat dari survei yang dilakukan terhadap 529 responden selama 14-16 Oktober 2020.
Di sisi lain, responden yang merasa puas sebanyak 39,7 persen. Bahkan, 5,5 persen responden merasa sangat puas.
Terakhir, 2,3 persen responden menyatakan tidak tahu.
Survei tersebut juga melihat tingkat kepuasan responden terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di bidang perekonomian, politik dan keamanan, penegakan hukum serta kesejahteraan sosial.
Yang menunjukkan ketidak puasan publik.
Survei Kompas tersebut dilakukan dengan metode wawancara telepon terhadap 529 responden yang berusia minimal 17 tahun di 80 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Survei ini memiliki tingkat kepercayaan sebesar 95 persen dengan irpencuplikan atau margin of error sekitar 4,3 persen.
2. Mosi tidak percaya
Setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan DPR dan Pemerintah pada Senin, 5 Oktober 2020, berbagai elemen masyarakat membuat pernyataan Mosi Tidak Percaya.
Pernyataan Mosi Tidak Percaya itu bukan saja dialamatkan kepada DPR RI selaku perwakilan rakyat.
Tapi juga ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi selaku kepala pemerintahan.
Bahkan unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja telah berlangsung sejak 5 Oktober lalu hingga hari ini.
Menanggapi pernyataan dan desakan publik tersebut, Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin angkat bicara.
Dia menegaskan tak mungkin Jokowi bisa dilengeserkan dari kursi Presiden Republik Indonesia.
Menurut TB Hasanuddin Mosi Tidak Percaya tidak cukup untuk melengserkan Presiden Jokowi dari kursi orang nomor satu di Indonesia itu.
Dia menilai, Mosi Tidak Percaya hanya berlaku bagi negara dengan sistem pemerintahan parlementer.
Berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem Presidensial.
Tak hanya itu, kata TB Hasanuddin, faktor lain yang membuat Jokowi akan sulit dilengserkan karena komposisi koalisi fraksi di DPR yang masih solid.
“Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat," kata TB Hasanuddin dikutip Kompas TV dari RRI pada Jumat, (16/10/2020).
3. Rapor merah dari PKS
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan nilai 4 (merah) dari skala 10 untuk kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dalam satu tahun ini.
"Benar Pak Jokowi sudah bekerja keras, tapi sebagian kementerian gagap dan hilang fokus. Secara umum, nilai yang didapat 4 dari skala 10," ujar politikus PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan, Jakarta, Senin (19/10/2020).
Menurut Mardani, kinerja Presiden Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan setahun ini, mesti didiskon karena delapan bulan Indonesia dilanda pandemi Covid-19.
Namun, Mardani menilai penanganan Covid-19 oleh pemerintah masih jauh dari kata memuaskan, karena kasus positif terus mengalami penambahan setiap harinya.
"Penanganan yang tidak sistematis menjadi dasar penilaian buruknya kinerja penanganan Covid-19. Padahal jika bekerja secara sistematis, pandemi dapat menjadi pijakan kokoh penguatan sistem kesehatan nasional, ketika anggaran kesehatan dinaikkan dan diprioritaskan," papar Mardani.
Selain itu, kata Mardani, Kementerian Dalam Negeri juga kehilangan peluang menjadi kementerian utama untuk menjadi manajer dalam pendisiplinan publik menghadapi Covid-19.
"Penegakan hukum juga menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan. Peranan KPK yang lebih sibuk dengan berita naiknya gaji pimpinan dan rencana mobil dinas, sebenarnya bertentangan dengan konsep single salarynya KPK menjadi cerita sedih," paparnya.
Persoalan kebakaran gedung Kejaksaan Agung, skandal pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, hingga ekonomi Indonesia masuk jurang resesi, dinilai Mardani sebagai ketidakmasikan pemerintah memuaskan rakyatnya.
"Rencana jaring keselamatan publik dengan bansos dan sembako, belum mampu menjaga kebutuhan minimal publik pada level terbawah. Pelaku UMKM belum mendapatkan secara konkrit bantuan yang sudah dianggarkan, makanya serapannya jauh dari harapan," papar Mardani.
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/Kompas TV
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.