Fredrich Yunadi Ajukan PK di Kasus Perintangan Penyidikan Setnov, Ini Respon KPK
Sebelumnya Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pengacara itu dan menggenapkan hukumannya menjadi 7,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana merintangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Setya Novanto dalam kasus korupsi proyek e-KTP, Frederich Yunadi, mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Sebelumnya Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pengacara itu dan menggenapkan hukumannya menjadi 7,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Takdir Suhan membenarkan hal tersebut. Pihaknya memastikan akan menghadiri persidangan.
"Kami akan menghadiri persidangannya, dijadwalkan pada Jumat (23/10/2020) lusa," ujar Takdir saat dikonfirmasi, Rabu (21/10/2020).
Sementara Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, PK merupakan hak terpidana, oleh karenanya KPK menghormatinya.
"Tentu nanti Jaksa KPK juga akan memberikan pendapat terkait dalil dan alasan yang diajukan oleh pemohon PK, " katanya.
Ali berujar, putusan majelis hakim Tipikor tingkat pertama sampai dengan kasasi telah mempertimbangkan fakta-fakta dan alat bukti yang ada.
Baca juga: Yasonna Usul Napi Korupsi Umur 60 Tahun Bebas, Ternyata Ada Setya Novanto, Kaligis, Patrialis, SDA
Sehingga KPK meyakini tidak ada kekhilafan, kekeliruan yang nyata dan pertentangan dalam pertimbangan putusan tersebut.
"Kami berharap MA dapat mempertimbangkan harapan publik agar adanya putusan majelis hakim yang memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi," ujar Ali.
Fredrich sebagai pengacara mantan Ketua DPR Setya Novanto dinilai terbukti memberikan saran agar Setnov tidak perlu datang memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan untuk proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus ada izin dari Presiden. Selain itu ia juga melakukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.