Fraksi PKS: Presiden Layak Terbitkan Perppu UU Cipta Kerja
Anggota Badan Legilasi DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menyatakan Presiden Jokowi layak terbitkan Perppu atas UU Cipta Kerja karena gonta-ganti naskah
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legilasi DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto, menyatakan presiden layak menerbitkan Perppu atas UU Cipta Kerja, karena prosedur formil yang tidak lazim, gonta-ganti naskah setelah pengesahan serta banyak menerima penolakan dari masyarakat.
Mulyanto merinci kronologis pembahasan UU Cipta Kerja yang saat itu masih menjadi Rancangan Undang-Undang.
Menurut Mulyanto, sejak awal UU yang dikenal dengan nama Omnibus Law Cipta Kerja ini terkesan dipaksakan.
Baca juga: Wagub DKI : Belum Ada Lonjakan Covid-19 Akibat Demo UU Cipta Kerja
Baca juga: Mardani Sebut UU Cipta Kerja adalah Kado Pahit untuk Masyarakat di Tengah Pandemi
Bahkan di saat masa reses, ketika RUU lain tidak dibahas, UU ini terus dikebut pembahasannya.
Sehingga, Mulyanto tidak begitu heran jika belakangan UU Cipta Kerja ini gonta- ganti naskah dan menimbulkan banyak koreksi.
Karena terburu-buru dan catatan belum terkonsolidasi jadi satu, sehingga saat pleno pengambilan keputusan tingkat I di Baleg 3 Oktober, naskah tidak dibacakan dan penandatanganan naskah hanya bersifat simbolik.
"Saat paripurna 5 Oktober baru dibagikan file digital 905 halaman, inipun ditarik kembali, karena ada yang tidak sesuai dengan keputusan Panja. Draf terakhir tanggal 12 Oktober dokumen 812 halaman yang resmi dan bersifat final diserahkan kepada presiden. Draf ini pun masih ditemukan banyak catatan," kata Mulyanto kepada wartawan, Sabtu (24/10/2020).
"Berdasarkan recall pada tanggal 16 Oktober Setneg mengajukan revisi perbaikan naskah, untuk 158 item perbaikan dalam dokumen setebal 88 halaman kepada Baleg DPR RI. Dugaan saya hasilnya adalah setting akhir naskah setebal 1187 halaman," lanjut Mulyanto.
Baca juga: Pasal 46 dalam UU Cipta Kerja Dihapus, PKS: Ini Makin Membingungkan
Mulyanto berpendapat, harusnya UU yang sudah disahkan di sidang paripurna tidak boleh diubah-ubah lagi oleh siapapun, baik itu oleh pimpinan panja, baleg, pimpinan DPR apalagi oleh Pemerintah.
Jika hal tersebut sampai dilakukan, maka otensitasnya menjadi diragukan.
"Kita tengah meneliti substansi dari perubahan-perubahan draf pasca-pengesahan di paripurna DPR tersebut. Apakah hanya bersifat typo, redaksional atau ada yg bersifat substansial. Semestinya tidak boleh ada perubahan lagi pasca pengesahan suatu RUU," ujarnya.
"Dalam kasus RUU Ciptaker terjadi perubahan pasca pengesahan, baik yang dilakukan oleh DPR maupun pemerintah. Sebuah proses pembentukan perundang-undangan yg secara formil tidak lazim. Tergesa-gesa dikerjakan di saat pandemi Corona," imbuhnya.
Baca juga: Pihak Istana Jelaskan Soal Pasal yang Dihapus dalam Naskah UU Cipta Kerja, Sebut Tak Ubah Substansi
Untuk mengakhiri polemik ketidakjelasan UU Cipta Kerja ini, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI minta Presiden segera menerbitkan Perppu.
Mulyanto menganggap sudah banyak bahasan dan kajian yang menyebut UU Omnibus Law ini cacat prosedur.
Jika dipaksakan Mulyanto khawatir akan menimbulkan banyak masalah yang bisa merugikan banyak pihak.
"Saya minta Presiden mendengar masukan yang disampaikan oleh banyak kalangan. Buktikan kalau negara berpihak pada rakyat bukan hanya kepada kelompok pemodal semata," pungkas Mulyanto.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.