Satu Tahun Kinerja Jaksa Agung, 101 Perkara Diselesaikan Dengan Cara Restorative Justice
Kejaksaan RI telah menghentikan sebanyak 101 perkara atau penuntutan berdasarkan asas keadilan yang restoratif (Restorative Justice).
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI telah menghentikan sebanyak 101 perkara atau penuntutan berdasarkan asas keadilan yang restoratif (Restorative Justice).
Perkara yang dihentikan tersebut tersebar di sejumlah wilayah Indonesia.
Hal itu diungkapkan Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono saat rilis terkait capaian kinerja 1 tahun Jaksa Agung RI ST Burhanuddin di Kantor Kejagung RI, Jakarta, Senin (26/10/2020).
"Tindak lanjut pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang telah dilakukan oleh jajaran kejaksaan sebanyak 101 perkara dengan rincian 97 perkara dengan korban perorangan dan 4 perkara dengan korban perusahaan atau lembaga negara yang tersebar di 27 Provinsi dan 70 Kabupaten/Kota," kata Hari Setiyono di Kejagung RI, Jakarta, Senin (26/10/2020)
Diketahui, Kejagung RI telah menerbitkan peraturan Kejaksaan RI nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Hal ini merupakan sebuah upaya menyesuaikan pergeseran paradigma yang berkembang pada masyarakat Indonesia, yang sebelumnya keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif.
"Tentu saja hanya tindak pidana tertentu yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," jelasnya.
Baca juga: Pakar: Sudah Tepat Kejagung Selesaikan Secara Restoratif Ratusan Pidana Ringan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun; serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Pelaksanaannya juga harus melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
"Hal ini meliputi penyelesaian perkara-perkara kecil (trivial case) dan/atau perkara yang mungkin diselesaikan dengan perdamaian, membantu mengurangi penumpukan beban perkara di pengadilan, sehingga pengadilan lebih berkonsentrasi menyelesaikan kasus besar yang merugikan masyarakat, menghemat waktu dan angggaran, sehingga hukum menjadi efisien," ungkap Hari.
Hari menuturkan pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan Kejaksaan diharapkan menjadi evaluasi dalam penanganan tindak pidana serta dapat menjadi dasar perbaikan hukum acara pidana dalam penyusunan rancangan kitab hukum acara pidana (KUHAP).