Tim Advokasi KAMI Laporkan Polri Ke Komnas HAM atas Dugaan Pelanggaran HAM Berat
Itu terjadi ketika Polri berupaya mengamankan Anton Permana, Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan di kediamannya masing-masing.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Advokasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) melaporkan Institusi Polri kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) atas dugaan pelanggaran HAM Berat.
Diduga terjadi pelanggaran HAM dalam proses penangkapan tiga petinggi KAMI, Syahganda Nainggolan, Moh. Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.
Koordinator Tim Advokasi KAMI Abdullah Al Katiri menjelaskan kronologis penangkapan tiga petinggi KAMI yang mengindikasikan ada sejumlah pelanggaran HAM berat oleh Polri.
Baca juga: Polri Putuskan Tunda Pemeriksaan Petinggi KAMI Ahmad Yani dalam Kasus Ujaran Kebencian
Al Katiri menilai Polri telah mengganggu tempat tinggal dan atau kediaman Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah dengan memaksa dan menerobos masuk ke dalam rumah.
Itu terjadi ketika Polri berupaya mengamankan Anton Permana, Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan di kediamannya masing-masing.
"Ketika memasuki kediaman Saudara Anton Permana, Teradu (Polri) memanjat pagar dan memutus/memotong jaringan kamera CCTV," kata Al Katiri di kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Selanjutnya saat jajaran Polri memasuki rumah dan kamar pribadi Jumhur Hidayat. Diketahui jajaran kepolisian menggedor dan melakukan cara paksa untuk masuk ke kediaman Jumhur Hidayat.
Baca juga: Manuver Gatot Nurmantyo di KAMI Justru Bikin Elektabilitasnya Jeblok? Berikut Perbandingan Datanya
Saat itu Istri Jumhur bahkan sempat meminta waktu untuk ganti pakaian, namun tidak diperkenankan.
"Tragisnya saat Saudara Moh Jumhur Hidayat meminta waktu untuk mengambil obat karena sedang sakit parah pascaoperasi batu empedu yang dilaksanakan sehari sebelumnya," ujar dia.
Al Katiri mengatakan, dalam kondisi luka jahitan yang masih basah, Jumhur Hidayat digelandang petugas Polri. Bahkan saat itu infus masih menempel di tubuh Jumhur Hidayat.
"Bahwa Teradu menginjak atau memasuki pekarangan tempat kediaman Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah dengan cara yang tidak patut dan bertentangan dengan kehendak yang bersangkutan," ucap dia.
Tim Advokasi KAMI juga menilai Polri telah merampas kemerdekaan dan rahasia privasi Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah.
Dalam hal ini Polri mengakses akun medsos milik Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah tanpa seizin dari yang bersangkutan.
Baca juga: Kasus Corona di AS Melonjak Tinggi, Kepala Staf Gedung Putih: Kami Tidak akan Kendalikan Pandemi
Kemudian saat Polri menampilkan dan mempertontonkan Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di Daerah dalam jumpa pers dengan media beberapa waktu lalu.
Jumpa pers itu disiarkan secara luas, menampilkan tiga petinggi KAMI Itu dalam kondisi tangan diborgol.
"Itu melanggar prinsip asas persamaan hak warga negara di depan hukum atau equality before the law, dan bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah presumption of innocent dalam praktek hukum yang berkeadilan," jelas Al Katiri.
*Kejanggalan Dalam Proses Penangkapan Syahganda Nainggolan*
Al Katiri menjelaskan, ada kejanggalan dalam proses penangkapan Syahganda Nainggolan jika dilihat dari dimensi waktu.
"Dasar Laporan Polisi (LP) tanggal 12 Oktober 2020 dan keluarnya sprindik tanggal 13 Oktober 2020, sementara penangkapan dilakukan beberapa jam kemudian pada hari yang sama tanggal 13 Oktober," kata Al Katiri.
Al Katiri menjelaskan, jika melihat dimensi waktu ini, penangkapan Syahganda Nainggolan jelas tidak lazim dan menyalahi prosedur.
Hal ini berdasarkan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor 21/PUI-XII /2014, tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa "dapat menimbulkan" maka penangkapan para Tokoh KAMI tersebut, diyakini mengandung tujuan politis, dengan mengunakan instrumen hukum.
"Bahwa pada intinya Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah ditangkap, ditahan, dipaksa oleh Teradu (Polri) secara sewenang-wenang dan tidak berperikemanusiaan serta melanggar ketentuan peraturan hukum dan perundang undangan yang berlaku," ujar Al Katiri.
Selain itu, lanjut Al Katiri, petugas Polri juga menghalangi tiga petinggi KAMI itu untuk bertemu dengan penasehat hukum, keluarga dan kerabatnya.
Atas dasar itu, Tim Advokasi KAMI meminta agar proses hukum terhadap tiga petinggi KAMI itu, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Moh. Jumhur Hidayat dihentikan.
Pasalnya proses hukum kepada ketiganya dinilai tidak manusiawi, melanggar peraturan perundang-undangan, serta memperalat hukum dan menuduhkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar pada fakta-fakta hukum yang sesungguhnya.
"Tuntutan KAMI adalah agar seluruh Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah yang dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar pada fakta-fakta hukum yang sesungguhnya bisa dibebaskan," ujar dia.
Selain itu, Tim Advokasi KAMI turut mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat terkait penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka kepada tiga petinggi KAMI itu.
"Proses yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, khususnya terhadap Saudara Syahganda Nainggolan, Moh Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lain-lain tanpa didasari minimal 2 (dua) alat bukti yang kuat," pungkas Al Katiri.