Tim Advokasi KAMI : Gedor Rumah, Luka Jahitan Masih Basah, Infus Menempel, Jumhur Tetap Digelandang
Al Katiri menilai Polri telah mengganggu tempat tinggal para pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah dengan memaksa, menerobos masuk ke dalam rumah.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Advokasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) melaporkan Institusi Polri kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) atas dugaan pelanggaran HAM Berat.
Diduga terjadi pelanggaran HAM dalam proses penangkapan tiga petinggi KAMI, Syahganda Nainggolan, Moh. Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.
Koordinator Tim Advokasi KAMI Abdullah Al Katiri menjelaskan kronologis penangkapan tiga petinggi KAMI yang mengindikasikan ada sejumlah pelanggaran HAM berat oleh Polri.
Al Katiri menilai Polri telah mengganggu tempat tinggal dan atau kediaman para pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah dengan memaksa dan menerobos masuk ke dalam rumah.
Itu terjadi ketika Polri berupaya mengamankan Anton Permana, Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan di kediamannya masing-masing.
"Ketika memasuki kediaman Saudara Anton Permana, Teradu (Polri) memanjat pagar dan memutus/memotong jaringan kamera CCTV," kata Al Katiri di kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (27/10).
Selanjutnya saat jajaran Polri memasuki rumah dan kamar pribadi Jumhur Hidayat.
Diketahui jajaran kepolisian menggedor dan melakukan cara paksa untuk masuk ke kediaman Jumhur Hidayat.
Saat itu Istri Jumhur bahkan sempat meminta waktu untuk ganti pakaian, namun tidak diperkenankan.
"Tragisnya saat Saudara Moh Jumhur Hidayat meminta waktu untuk mengambil obat karena sedang sakit parah pascaoperasi batu empedu yang dilaksanakan sehari sebelumnya," ujar dia.
Al Katiri mengatakan, dalam kondisi luka jahitan yang masih basah, Jumhur Hidayat digelandang petugas Polri.
Bahkan saat itu infus masih menempel di tubuh Jumhur Hidayat.
"Bahwa Teradu menginjak atau memasuki pekarangan tempat kediaman Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah dengan cara yang tidak patut dan bertentangan dengan kehendak yang bersangkutan," ucap dia.
Tim Advokasi KAMI juga menilai Polri telah merampas kemerdekaan dan rahasia privasi Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah.
Baca juga: Tim Advokasi KAMI Laporkan Polri Ke Komnas HAM atas Dugaan Pelanggaran HAM Berat
Dalam hal ini Polri mengakses akun medsos milik Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah tanpa seizin dari yang bersangkutan.
Kemudian saat Polri menampilkan dan mempertontonkan Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di Daerah dalam jumpa pers dengan media beberapa waktu lalu.
Jumpa pers itu disiarkan secara luas, menampilkan tiga petinggi KAMI Itu dalam kondisi tangan diborgol.
"Itu melanggar prinsip asas persamaan hak warga negara di depan hukum atau equality before the law, dan bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah presumption of innocent dalam praktek hukum yang berkeadilan," jelas Al Katiri.
Al Katiri menjelaskan, ada kejanggalan dalam proses penangkapan Syahganda Nainggolan jika dilihat dari dimensi waktu.
"Dasar Laporan Polisi (LP) tanggal 12 Oktober 2020 dan keluarnya sprindik tanggal
13 Oktober 2020, sementara penangkapan dilakukan beberapa jam kemudian pada hari yang sama tanggal 13 Oktober," kata Al Katiri.
Jika melihat dimensi waktu ini, penangkapan Syahganda Nainggolan menurutnya jelas tidak lazim dan menyalahi prosedur.
Hal ini berdasarkan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor 21/PUI-XII /2014, tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan
UU ITE Pasal 45 terkait frasa "dapat menimbulkan" maka penangkapan para Tokoh KAMI tersebut, diyakini mengandung tujuan politis, dengan mengunakan instrumen hukum.
"Bahwa pada intinya Para Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah ditangkap, ditahan, dipaksa oleh Teradu (Polri) secara sewenang-wenang dan tidak berperikemanusiaan serta melanggar ketentuan peraturan hukum dan perundang undangan yang berlaku," ujar Al Katiri.
Petugas Polri juga dianggap menghalangi tiga petinggi KAMI itu untuk bertemu dengan penasehat hukum, keluarga dan kerabatnya.
Atas dasar itu, Tim Advokasi KAMI meminta agar proses hukum terhadap tiga petinggi KAMI itu, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Moh. Jumhur Hidayat dihentikan.
Pasalnya proses hukum kepada ketiganya dinilai tidak manusiawi, melanggar peraturan perundang- undangan, serta memperalat hukum dan menuduhkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar pada fakta- fakta hukum yang sesungguhnya.
"Tuntutan KAMI adalah agar seluruh Pejuang KAMI dan Jejaring KAMI di daerah yang dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar pada fakta-fakta hukum yang sesungguhnya bisa dibebaskan," ujar dia.
Selain itu, Tim Advokasi KAMI turut mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat terkait penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka kepada tiga petinggi KAMI itu.
"Proses yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, khususnya terhadap Saudara
Syahganda Nainggolan, Moh Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lain-lain tanpa didasari minimal 2 (dua) alat bukti yang kuat," pungkas Al Katiri.
Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setyono membantah pihaknya menargetkan sejumlah tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Hal itu terkait maraknya penangkapan aktivis yang
mengkritik pemerintah.
Total ada 3 petinggi atau deklarator KAMI yang ditangkap polisi, yaitu Syahganda
Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana.
Ada pula empat anggota jaringan KAMI Medan yang ditangkap karena kasus penghasutan.
Terakhir, pihak kepolisian dikabarkan sempat akan menangkap Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani.
Namun belakangan, Polri membantah hendak menangkap Ahmad Yani.
"Dari awal kami sudah jelaskan bahwasannya kita tidak menyasar KAMI.Tapi kebetulan para pelaku itu anggota organisasi tersebut," kata Awi di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (22/10) lalu. (tribun network/genik/igm)