Kejagung RI Bantah Pengakuan Irjen Napoleon Soal 'Petinggi Kita' Tidak Ada di BAP
Ali menyebut dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) disusun berdasarkan dari berkas perkara hasil penyidikan Polri.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), Ali Mukartono membantah pengakuan mantan Kepala Divisi Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte terkait adanya aliran dana Djoko Tjandra ke 'petinggi kita' tidak tertuang di Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Ali menyebut dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) disusun berdasarkan dari berkas perkara hasil penyidikan Polri.
"Ndak mungkin pasti ada (pengakuan Irjen Napoleon di BAP, Red), masa jaksa tau dari mana. Emang dukun dia," kata Ali kepada wartawan saat dikonfirmasi, Rabu (4/11/2020).
Lebih lanjut, ia memastikan JPU tak menambah keterangan lain di dalam berkas perkara atau dakwaan yang dibacakan di persidangan.
Dia bilang, seluruh dakwaan disusun berdasarkan berkas perkara yang dilimpahkan Polri.
"Kalau surat dakwaan, dari berkas perkara yang sah atau yang dibuat atas sumpah jabatan oleh penyidik," jelasnya.
Sementara itu, Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI Hari Setiyono memastikan dasar pembuatan surat dakwaan mengacu kepada bekas perkara yang diberikan Polri.
Baca juga: Pengakuan Napoleon Terkait Aliran Uang Djoko Tjandra ke Petinggi Kita Tak Tertuang di BAP
"Sekali lagi, dasar pembuatan surat dakwaan itu berkas perkara dan itu yang harus dibuktikan JPU," tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Bareskrim Polri menyampaikan pengakuan mantan Kepala Divisi Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte terkait adanya aliran dana Djoko Tjandra ke 'petinggi kita' tidak tertuang di Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
"Apa yang disampaikan saudara tersangka NB di pengadilan kemarin itu sudah saya konfirmasi kepada penyidik tidak ada di dalam BAP. Jadi pengakuan yang bersangkutan di persidangan ya silakan itu kan fakta persidangan," kata Karo Penmas Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (3/11/2020)
Lebih lanjut, Awi menduga pernyataan tersebut dimunculkan oleh Napoleon saat diperiksa oleh Jaksa Peneliti saat proses pemberkasan. Namun pihaknya masih enggan menanggapi lebih lanjut terkait fakta yang ditemukan di dalam persidangan.
"Bagaimana kelanjutannya tentunya nanti kita sama-sama lihat ini kan baru awal. Nanti kita sama-sama tunggu perkembangannya. Tentunya menjadi bahan evaluasi yang dipertanyakan, waktu diperiksa kenapa dulu tidak menyampaikan itu tapi kenapa sekarang di pengadilan menyampaikan itu," tukasnya.
Sebagai infomasi, uang suap yang berasal dari terpidana kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, diduga mengalir ke atasan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte di Mabes Polri.
Hal itu terungkap dalam sidang perdana kasus dugaan suap terkait penghapusan Red Notice Djoko Tjandra dengan agenda pembacaan surat dakwaaan terhadap Irjen Napolen di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan bahwa uang suap dari Djoko Tjandra untuk menghapus namanya di Daftar Pencarian Orang (DPO) dilakukan di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan. Perantara Djoko ialah pengusaha H Tommy Sumardi.
Jaksa mengatakan, awalnya Tommy diminta Djoko Tjandra untuk melihat status Red Notice terhadap namanya di Indonesia. Hal itu menyusul informasi yang didapat Djoko Tjandra bahwa Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.
"Agar Djoko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Djoko Soegiarto Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar melalui H Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," kata jaksa membacakan surat dakwaan terhadap Napoleon.
Tommy lantas meminta bantuan kepada eks Kabiro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, di kantornya. Tommy meminta Prasetijo untuk memeriksa status Interpol Red Notice Djoko Tjandra. Kemudian, Prasetijo mengenalkan Tommy Sumardi kepada Napoleon selaku Kadiv Hubinter Polri saat itu.
Jaksa menjelaskan, pada 16 April 2020, Tommy dengan membawa paper bag warna merah tua tiba di ruangan Napoleon yang berada di Gedung TNCC Mabes Polri. Dalam dakwaan ini, jaksa tidak memaparkan lebih lanjut isi paper bag itu.
Namun demikian, Tommy menanyakan kepada Napoleon ihwal status interpol Red Notice Djoko. Lalu, Napoleon mengaku akan memeriksanya dan meminta Tommy untuk datang kembali keesokan harinya.
Keesokan harinya, Tommy bersama Prasetijo menemui Napoleon Bonaparte di ruangan Kadiv Hubinter Polri. Dalam pertemuan tersebut Napoleon menyampaikan bahwa Red Notice Djoko bisa dibuka, karena kantor pusat Interpol di Lyon yang membuka.
Dalam pertemuan itu, Napoleon mengaku awalnya bisa membantu menghapus red notice di Indonesia asal dibayar Rp3 miliar. Namun akhirnya, Napoleon meminta harga lebih tinggi senilai Rp7 miliar karena untuk mengamankan atasannya juga. Dalam dakwaan, tidak disebut siapa atasannya itu.
"Naik ji (Tommy Sumardi, red) jadi 7 (miliar) Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'petinggi kita ini'," kata jaksa menirukan pernyataan Napoleon.
Tommy akhirnya menyerahkan uang sekitar Rp6 miliar secara bertahap kepada Napoleon di ruang kerjanya. Uang suap dari Djoko Tjandra tersebut diberikan Tommy kepada Napoleon dalam bentuk 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS.
Irjen Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.