Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kuasa Hukum Sebut Nurhadi Tak Punya Kewenangan Pembinaan Karier Hakim di MA

Kuasa hukum Nurhadi, Muhammad Rudjito, memastikan kliennya tidak mempunyai kewenangan pembinaan karier hakim di MA.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Kuasa Hukum Sebut Nurhadi Tak Punya Kewenangan Pembinaan Karier Hakim di MA
Tribunnews/Irwan Rismawan
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp 46 miliar, Nurhadi berjalan untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (6/8/2020). KPK melanjutkan pemeriksaan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi sebagai tersangka terkait suap dan gratifikasi penanganan perkara di MA. Tribunnews/Irwan Rismawan 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Muhammad Rudjito, memastikan kliennya tidak mempunyai kewenangan pembinaan karier hakim di MA.

Ia membantah soal dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Nurhadi yang disebut memiliki kewenangan yang berkaitan dengan pembinaan hakim.

"Tidak ada kewenangan pak Nurhadi yang berkaitan dengan pembinaan terhadap karier hakim. Kan kesannya seperti itu. Bahwa di dalam dakwaan hakim ini di bawah kendali pak Nurhadi, padahal nyatanya tidak seperti itu," ujar Rudjito disela-sela persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (27/11/2020).

Baca juga: Novel Baswedan Dipuji karena Pimpin Penangkapan Edhy Prabowo, Sebelumnya Pernah Menangkap Nurhadi

Menurut Rudjito, pembinaan karier hakim di lingkungan MA kewenangannya diurus pada maaing-masing Direktorat Jenderal.

Di antaranya, Ditjen Peradilan Umum, Ditjen Peradilan Agama, Ditjen Peradilan Tata Usaha Negara dan Ditjen Peradilan Militer.

"Bahwa soal pembinaan itu di MA ada dua bagian kepegawaian yang non-hakim itu memang ada di bawah Sekretariat MA, tetapi terkait dengan pembinaan hakim itu masing-masing kewenangannya diserahkan ke masing-masing Dirjen," ujar Rudjito.

Berita Rekomendasi

Rudjito menyebut, dalam kesaksian Kepala Biro Kepegawaian MA Supatmi mengklaim, Nurhadi tidak mempunyai kewenangan dalam pembinaan karier hakim di lingkungan MA.

Baca juga: Kuasa Hukum Sebut Fakta Persidangan Tak Bisa Ungkap Aliran Suap Kepada Nurhadi

"Ketika memeriksa saksi Supatmi tadi jelas, membuktikan bahwa Pak Nurhadi itu tidak memiliki kewenangan yang berkaitan dengan pembinaan hakim. Jadi dakwaan KPK tidak tepat dan keliru," ujar Rudjito.

Sebelumnya, Kepala Biro Kepegawaian MA Supatmi membeberkan tugas Sekretaris MA.

Salah satu tugasnya yakni membantu Ketua MA dalam mengurus kesekretariatan.

Demikian diungkapkan Supatmi saat bersaksi untuk terdakwa Nurhadi.

"Membantu tugas-tugas Ketua MA, tapi di dalam tugasnya menangani di bidang kesekratariatan," ujar Supatmi saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (27/11/2020).

Menurut Supatmi, Nurhadi mendapat gaji sebagai Sekretaris MA sekira Rp 30 sampai Rp 50 juta.

Dia menyebut, itu sudah termasuk tunjangan sebagai pejabat eselon satu di MA.

"Kurang lebih Rp50 (juta)-an. Kalau dalam aturan hanya tunjangan eselon satu dan sama gaji pokok remonasi," kata dia.

Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.

Baca juga: Dicecar Jaksa KPK, Pegawai PT MIT Ungkap Adik Ipar Nurhadi Sebagai Pengacara Top

Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.

Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.

Uang Rp45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.

Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN.

Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.

PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat.

Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544.

Tak terima, PT KBN mengajukan banding. Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.

PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.

Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.

Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.

Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA.

Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.

Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar.

"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.

Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000.

Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.

Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan (Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas