Terungkap Alasan Djoko Tjandra Tunjuk Tommy Sumardi untuk Mengurus Red Notice
Djoko Tjandra membeberkan alasannya memilih pengusaha Tommy Sumardi untuk mengurus red notice
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Djoko Tjandra membeberkan alasannya memilih pengusaha Tommy Sumardi untuk mengurus red notice atas namanya di NCB-Interpol Polri.
Hal itu diungkapnya ketika bersaksi dalam sidang kasus dugaan suap penghapusan namanya dalam daftar red notice Polri dengan terdakwa mantan Kabiro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Polri Brigjen Prasetijo Utomo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (14/12/2020).
Diketahui, Prasetijo bersama-sama Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadiv Hubinter Polri didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Baca juga: Irjen Napoleon Sempat Minta Anak Buah Urus Perpanjangan Red Notice Djoko Tjandra
Baca juga: Curhat Djoko Tjandra: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula, Ini Menjadi Titik Nadir Penderitaan Saya
Dalam kesaksiannya, Djoko Tjandra mengaku telah mengenal Tommy Sumardi sejak 1995.
Saat itu, Tommy disebut Djoko Tjandra sebagai karyawan mantan Ketua Umum dan mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Selain itu, Tommy Sumardi pernah menjabat sebagai Chief Security di Mal Taman Anggrek yang merupakan salah satu lini usaha milik Djoko Tjandra.
"Terus saya mengetahui lagi di dalam persidangan ini bahwa beliau tahun '98 bekerja di perusahaan saya, di Taman Anggrek sebagai chief security. Itu yang saya ketahui juga, sebelum-sebelumnya saya ndak mengetahui beliau itu bekerja di perusahaan saya," ucap Djoko Tjandra.
Hubungannya dengan Tommy Sumardi semakin erat saat bisnis Djoko Tjandra mulai masuk ke Malaysia.
Djoko Tjandra yang bersahabat dengan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak membangun gedung pencakar langit The Exchange 106 keuangan internasional terpadu Tun Razak Exchange (TRX), Kuala Lumpur, Malaysia. Belakangan Tun Razak Exchange tersandung skandal megakorupsi 1MDB.
"Prime minister Najib kebetulan teman baik saya dan juga saya pernah menolong beliau untuk membangun proyek yang namanya The Exchange 106. Itu tanah saya beli, beliau minta saya beli tanah di situ, itu yang mungkin semua juga tahu proyek yang dinamakan 1 MDB. Hubungan saya 2014 dengan beliau cukup dekat sehingga dengan pengalaman saya beliau minta barter," kata Djoko Tjandra.
Pada 2019, Tommy Sumardi diketahui menjadi besan Najib Razak.
Djoko mengaku mengetahui banyaknya koneksi Tommy Sumardi di lingkungan Polri saat menghadiri pernikahan anak Tommy Sumardi dan Najib Razak.
Saat itu, banyak pejabat kepolisian yang menghadiri pernikahan tersebut.
"Pada tahun 2019 beliau itu menjadi besanan dengan Prime Minister Najib. Pada pesta perkawinannya hampir semua pejabat senior dari kepolisian menghadiri pesta itu. Saya pun diberitahukan Prime Minister Najib, kebetulan beliau itu teman baik saya," kata Djoko Tjandra.
Atas hubungannya yang sudah terjalin lama ditambah dengan koneksi di Kepolisian, Djoko Tjandra pun memilih Tommy Sumardi untuk membantunya mengurus penghapusan namanya dalam daftar red notice lantaran ingin masuk ke Indonesia dan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan PK MA tahun 2009 yang memvonisnya dihukum 2 tahun pidana penjara dalam perkara korupsi hak tagih Bank Bali.
"Nah, juga beliau (Najib Razak) yang menyampaikan 'eh mantu saya di Indonesia itu kepolisian segala macam luar biasa kedekatannya sama ini (TS)'. Jadi kepercayaannya dari situ. Oleh karena itu, saya telepon beliau bulan Maret itu, itu praktiknya semua nyambung dari situ," kata Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra Ungkap Sempat Dimintai Rp 25 Miliar
Djoko Tjandra sempat terkejut lantaran dimintai Tommy Sumardi senilai Rp 25 miliar untuk mengurus penghapusan red notice di kepolisian.
Djoko yang menjadi saksi atas terdakwa Brigjen Prasetijo itu mengaku angka itu terlalu mahal.
"Ini ongkos pertama kali Rp 25 miliar. 'Aduh, Tom, banyak banget hanya membersihkan nama saja banyak banget.' Saya nawar Rp 5 miliar. Kemudian akhirnya beliau turun Rp 15 miliar. Entah apa kita bicara akhirnya ketemu di titik Rp 10 miliar," ucap Djoko di persidangan suap penghapusan red notice di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (14/12/2020).
Djoko mengakui upaya penghapusan red notice itu dalam rangka mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk kasus korupsi hak tagih Bank Bali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Djoko menyatakan harus mendaftarkan PK itu sendiri di Indonesia. Namun, Djoko mengetahui namanya masih dicekal.
"Saya enggak bisa masuk ke Indonesia karena Imigrasi belum melepas saya. Dapat informasi dari, saya tidak ingat. Tetapi kira-kira itu, saya minta ke Tommy untuk melakukan pengecekan. Saya posisi ada di Malaysia, TS di Jakarta. Komunikasi lewat telepon," ujar Djoko.
Djoko menerangkan, Tommy saat itu menyanggupi permintaannya dengan syarat ada biayanya. Angka yang disepakati terakhir ialah Rp 10 miliar yang diketahui Djoko sebagai uang konsultan. Djoko tidak mengetahui ke mana uang itu digunakan oleh Tommy di Indonesia.
Djoko melanjutkan, dirinya pun melakukan transaksi melalui sekretaris pribadinya, Nurmawan Fransisca kepada Tommy pertama kali pada 27 April 2020. Uang yang diserahkan senilai 100 ribu dolar AS. Uang diantarkan oleh seorang office boy di Resto Meradelima, Jakarta Selatan.
"Kedua pada 28 April 2020 sebesar 200 ribu dolar Singapura. Penyerahan pada waktu itu saya ketahui di Hotel Mulia. Diserahkan oleh Sisca kepada Tommy Sumardi. Sumber uang itu kita beli di money changer. Sisca menerima uang dari money changer," kata Djoko.
Ketiga, imbuh Djoko, pada 29 April 2020 sebesar 100 ribu dolar AS. Transaksi ini dilakukan oleh Sisca yang diantar office boy ke Tommy di Resto Meradelima.
Penyerahan selanjutnya pada 4 Mei 2020 150 ribu dolar AS. Prosesnya sama di Resto Meradelima.
Kelima, tambah Djoko, pada 12 Mei 2020 100 ribu dolar AS di kawasan Tanah Abang. Uang diantar office boy kepada Tommy.
"22 Mei 2020 diserahkan di rumah TS, 50 ribu dolar AS. Prosesnya sama (melalui office boy)," tutur Djoko
Djoko mengatakan, pada 11 Mei 2020, namanya dalam red notice dan pencekalan sudah dicabut.
"Intinya bahwa DPO sudah diangkat," kata Djoko.
Kronologi Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, menjalani sidang perdana kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Senin (2/11/2020).
Dalam sidang yang beragendakan pembacaan dakwaan terungkap alur kasus suap tersebut terjadi.
Peristiwa pidana tersebut berawal saat Djoko Tjandra hendak mengurus Peninjauan Kembali (PK) kasus yang menjeratnya selama bertahun-tahun-tahun.
Djoko Tjandra saat itu berstatus buron dan menyandang status terpidana kasus hak tagih atau cessie Bank Bali.
Baca juga: Djoko Tjandra Didakwa Menyuap Oknum Jaksa dan Polisi, Total Belasan Miliar Rupiah
April 2020, Djoko Tjandra yang berada di Kuala Lumpur, Malaysia kemudian menghubungi pengusaha Tommy Sumardi melalui sambungan telepon.
Dalam percakapannya, Djoko Tjandra menyampaikan maksud agar dapat masuk ke wilayah Indonesia untuk mengurus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas kasus korupsi Bank Bali Djoko.
Djoko Tjandra meminta agar Tommy Sumardi menanyakan status Interpol Red Notice Joko Soegiarto Tjandra di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri, karena sebelumnya Djoko mendapat informasi bahwa Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.
Baca juga: Pakai 2 Paspor, Pinangki 23 Kali Bepergian ke Luar Negeri Terkait Djoko Tjandra
"Agar Joko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Joko Soegiarto Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar rupiah melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Joko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," ungkap Jaksa Wartono membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Mendapat perintah dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi lalu meminta bantuan kepada eks Kabiro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Kepolisian Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
Baca juga: Sebelum Sidang Dakwaan Mulai, Djoko Tjandra Diingatkan Jangan Suap Hakim
Saat itu, Tommy Sumardi menemui Brigjen Pol Prasetijo Utomo di kantornya.
Lantas Tommy meminta Prasetijo untuk dapat memeriksa status Interpol Red Notice Djoko.
Lalu, Prasetijo mengenalkan Tommy Sumardi kepada Irjen Pol Napoleon selaku Kadiv Hubinter Polri saat itu.
Pada 16 April 2020, Tommy Sumardi dengan membawa paper bag warna merah tua tiba di ruangan Irjen Pol Napoleon di Gedung TNCC Mabes Polri.
Dalam dakwaan ini, jaksa tidak memaparkan lebih lanjut isi paper bag tersebut.
Namun demikian, Tommy menanyakan kepada Irjen Napoleon ihwal status interpol Red Notice Djoko.
Lalu, Napoleon mengaku akan memeriksanya dan meminta Tommy untuk datang kembali keesokan harinya.
Keesokan harinya, Tommy bersama Prasetijo menemui Irjen Napoleon Bonaparte di ruangan Kadiv Hubinter Polri.
Baca juga: Tommy Sumardi Perantara Djoko Tjandra Didakwa Suap 2 Jenderal Polisi
Dalam pertemuan tersebut Napoleon menyampaikan bahwa Red Notice Djoko bisa dibuka, karena kantor pusat Interpol di Lyon yang membuka.
Awalnya Napoleon meminta uang sebesar Rp 3 miliar untuk mengurus red notice di Interpol atas nama Djoko Tjandra.
Maka dari itu, Djoko Tjandra menyerahkan uang 100.000 dollar AS kepada Tommy melalui perantara pada 27 April 2020.
Di hari yang sama, Tommy bersama Prasetijo berangkat untuk menyerahkan uang kepada Napoleon.
Minta jatah
Ternyata, Prasetijo juga meminta jatah dan membagi uang 100.000 dollar AS tersebut.
"Saat di perjalanan di dalam mobil, Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa oleh Tommy Sumardi, kemudian mengatakan,'Banyak banget ini, Ji, buat beliau? Buat gue mana?’,” tutur jaksa.
"Dan saat itu uang dibelah 2 oleh Prasetijo Utomo dengan mengatakan, 'Ini buat gue, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi dua'," ucapnya.
Namun, ternyata permintaannya naik menjadi Rp 7 miliar.
Baca juga: Irjen Napoleon Bonaparte Jalani Sidang Perdana Kasus Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra Hari Ini
"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik, Ji, jadi 7, Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau', dan berkata 'petinggi kita ini'," ucap jaksa penuntut umum Zulkipli saat sidang.
Setelah Napoleon menolak uang 50.000 dollar AS dan meminta dalam jumlah yang lebih besar, Tommy dan Prasetijo meninggalkan Mabes Polri.
Setelah itu, terjadi beberapa kali penyerahan uang dari Djoko Tjandra kepada Napoleon melalui Tommy.
Rinciannya, Napoleon menerima 200.000 dollar Singapura pada 28 April 2020, 100.000 dollar AS pada 29 April 2020, 150.000 dollar As pada 4 Mei 2020, dan 20.000 dollar AS pada 5 Mei 2020.
Buat surat
Setelah menerima uang dari Djoko Tjandra, Irjen Napoleon memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ditujukan kepada pihak Imigrasi sebagaimana Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1000/V/2020/NCB-Div HI tanggal 29 April 2020, perihal Penyampaian Informasi Pembaharuan Data, yang ditandatangani oleh Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.
"Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat ND Interpol indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database Daftar Pencarian Orang (DPO) yang terdaftar dalam INTERPOL Red Notice melalui jaringan 1-24/7, dan berkaitan dengan hal dimaksud dinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi," kata Jaksa.
Baca juga: Irjen Napoleon Bonaparte Jalani Sidang Perdana Kasus Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra Hari Ini
Lantas Irjen Napoleon kembali memerintahkan anggotanya, Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat Surat Divisi Hubungan Internasional Polri Nomor B/1030/V/2020/NCB-Div Hl tanggal 4 Mei 2020, perihal Pembaharuan Data Interpol Notices yang ditandatangani oleh atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham RI.
"Adapun isi surat tersebut pada pokoknya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice," kata Jaksa.
Lalu Napoleon memerintahkan pihak Imigrasi untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistim Informasi Keimigrasian (SIMKIM).
"13 Mei 2020 pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistim Informasi Keimigrasian (SIMKIM)," ucap Jaksa Wartono.
Atas perbuatannya Irjen Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.