Tokoh Perempuan Opu Daeng Risadju, Lawan Kolonialisme Hingga Usia Senja
Opu Daeng Risdju yang lahir pada tahun 1880 ini merupakan buah hati dari pasangan Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah To Baresseng.
TRIBUNNEWS.COM - Memperjuangkan kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh kaum pria, namun para wanita bahkan lansia juga turut berkontribusi melawan kolonialisme. Semangat juang para pejuang ini akhirnya membuahkan hasil yang amat besar untuk negara Indonesia salah satunya lahirnya Pancasila.
Banyak tokoh wanita yang dikenal sebagai pahlawan nasional, misalnya Cut Nyak Dhien, Fatmawati, RA Kartini, Raden Dewi Sartika, dan satu yang tidak terlupakan Opu Daeng Risadju.
Meskipun nama dari Opu Daeng Risadju tidak familiar seperti pahlawan-pahlawan di atas namun perjuangan seorang wanita sekaligus ibu asal Sulawesi Selatan ini tidak kalah besar dalam upayanya mengusir penjajah.
Opu Daeng Risdju yang lahir pada tahun 1880 ini merupakan buah hati dari pasangan Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah To Baresseng. Semasa kecilnya, Opu Daeng Risdju terkenal sebagai keluarga bangsawan karena sang ibu, Opu Daeng Mawellu merupakan keturunan “darah biru” dari Luwu.
Meskipun di masa itu keluarga bangsawan mendapatkan hak istimewa dari kolonialisme Belanda untuk menjalani pendidikan formal ala barat, tetapi para bangsawan diharuskan tunduk terhadap segala peraturan Belanda.
Ingin bebas dari bayangan Belanda, Opu Daeng Risadju akhirnya mengenyam pendidikan sendiri dengan belajar berbagai ilmu moral, adat kebangsawanan, dan ilmu agama Islam.
Beranjak dewasa, ia menikah dengan Muhammad Daud, anak dari teman dagang ayahnya. Sang suami merupakan seorang ulama terkenal yang pernah tinggal di Mekkah dan memiliki ilmu keislaman yang baik. Berkat pernikahan tersebut, ia dikaruniai anak bernama Abdul Kadir Daud.
Berjuang Melawan Pemerintah Kolonial
Perannya sebagai ibu tidak menghalangi Risadju untuk terjun ke dunia politik pada usia ke 47 tahun. Langkah itu dipilih berkat pertemuannya dengan dua tokoh serta pendiri Serikat Islam Pare-Pare yaitu Haji Muhammad Yahya dan Haji Muhammad Agus Salim pada 1927 lalu.
Dalam diskusi tersebut, kedua tokoh menjelaskan tujuan Serekat Islam untuk meningkatkan kesejahteraan bumiputera (penduduk asli) dari pengaruh kolonialisme Belanda.
Kebetulan, semangat ini sejalan dengan keinginan Risadju untuk membantu masyarakat lokal lebih sejahtera. Karena hal itu pula, ia bersama sang suami memutuskan untuk bergabung menjadi anggota Serekat Islam Pare-Pare pada 1927 lalu.
Tiga tahun setelah bergabung, ia memutuskan untuk pindah ke daerah Palopo. Dalam kepindahannya itu, Risadju memutuskan untuk mendirikan dan mengubah nama Serekat Islam menjadi Partai Serekat Islam Indonesia (PSII) Cabang Palopo pada 1930.
Sebagai seorang ibu yang telah memasuki usia 50 tahun, ia tetap gigih untuk berjuang melalui jalur politik. Di usianya itu pula, Risadju dipercaya untuk menjadi ketua PSII Cabang Palopo.
Pergerakan politik yang dibuat oleh Risadju mulai diwaspadai oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut pemerintah kolonial, hal itu terjadi ketika Risadju menjadi pembicara pada rapat umum PSII Ranting Malangke. Dalam acara tersebut, Risadju dituding telah menghasut masyarakat lokal untuk tidak mempercayai pemerintah Belanda.
Karena dianggap berbahaya, pemerintah kolonial Belanda hendak menghukum Opu Daeng Risadju dengan penjara sekitar satu tahun satu bulan. Sebelum keputusan itu diturunkan, pemerintah kolonial Belanda juga meminta dirinya untuk berhenti dari berbagai kegiatan politik dan keluar dari PSII.
Sebagai tokoh ibu yang kuat dengan pendirian dan semangat untuk melawan kolonialisme, Risadju memutuskan untuk tidak menuruti keinginan Belanda. Bahkan setelah keluar penjara pada 1933, ia tetap berjuang dan bergabung kembali dengan PSII.
Menurut buku yang ditulis oleh Suryadi Pratama pada 2018 lalu, peristiwa itu menjadikan Opu Daeng Risadju sebagai wanita pertama yang dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan alasan politik.
Mempertahankan Kemerdekaan
Cita-cita Opung Daeng Risadju untuk membantu masyarakat lokal tidak berhenti ketika kemerdekaan diumumkan oleh Ir. Soekarno. Ia terus mempertahankan kemerdekaan yang hendak direbut oleh pihak penjajah.
Di usianya yang telah memasuki 66 tahun pada 1946, Opu Daeng Risadju kembali menunjukkan kekuatan yang dimiliki dengan menentang penjajahan kembali melalui Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA).
Meskipun usianya sudah tergolong sangat tua, kekuatan masa yang dimiliki oleh Opu Daeng Risadju tetap besar. Bahkan, ia sempat menggerakkan pemberontakan besar rakyat Palopo melawan NICA pada 23 Januari 1946 lalu.
Karena dianggap melawan NICA, Opu Daeng Risadju menjadi buronan utama di Sulawesi Selatan. Bahkan, pihak NICA akan memberikan hadiah bagi siapapun yang bisa menemukan Opu Daeng Risadju. Alhasil, sebulan setelah penyerangan, NICA berhasil menemukan tempat persembunyian Opu Daeng Risadju di Lantoro.
Karena telah tertangkap, Risadju yang usianya tidak lagi muda mendapatkan hukuman berjalan kaki sejauh 40 km.
Menurut Biografi Pahlawan Opu Daeng Risaju, di masa itu, ia juga mendapatkan hukuman menghadap matahari selama satu jam. Lebih parahnya lagi, di samping telinganya diletuskan senjata api yang menyebabkan telinga Risajdu mengalami luka hingga tuli.
Perjuangan dan pengorbanan Opu Daeng Risajdu memberikan inspirasi bagi generasi saat ini untuk terus mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Yudian Wahyudi mengungkapkan, nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari peranan pemuda.
“Tantangan terhadap kebangsaan tidak berhenti meski sudah merdeka. Ancaman terhadap kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia tetap masih ada. Sebab itulah pemuda diharapkan mengembangkan kemampuan dan kecakapan diri agar bisa mengantisipasi ancaman kebangsaan tersebut,” ungkapnya saat didapuk menjadi keynote speaker pada acara webinar ‘Muda Merdeka, Bicara Bangsa dan Pancasila’ yang diselenggarakan Senat dan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, di Yogyakarta.
Maka dari itu, diharapkan di era modern ini lahir semakin banyak Opu Daeng Risajdu yang mau berjuang untuk mempertahankan persatuan Indonesia.