Jaksa KPK dan Pengacara Nurhadi Debat Sengit di Persidangan
Maqdir ingin mengetahui apakah inisial BS ini sebagai Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terjadi ketegangan dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA) di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat (18/12/2020).
Duduk sebagai terdakwa dalam persidangan ini ialah mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono. Sementara hadir sebagai saksi yakni Budi Susanto yang berprofesi sebagai kontraktor.
Perdebatan dimulai ketika pengacara Nurhadi dan Rezky, Maqdir Ismail, berusaha mengonfirmasi Budi soal pemberitaan yang berisikan inisial BS.
Maqdir ingin mengetahui apakah inisial BS ini sebagai Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI).
"Saudara saksi ini ada pernyataan MAKI Boyamin Saiman, ada seorang pemborong namanya BS ada Nomor HP-nya dan alamat rumahnya di Pasar Minggu," kata Maqdir saat mendampingi Nurhadi dan Rezky di persidangan yang digelar secara daring dari Gedung KPK.
Pertanyaan Maqdir langsung ditampik Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Takdir Suhan.
Bagi Takdir, pertanyaan Maqdir tidak sesuai dengan konteks persidangan. Ia keberatan dengan yang dipertanyakan pengacara Nurhadi itu.
"Izin majelis, kami keberatan majelis, artikel ini tidak dapat dipertanggungjawabkan majelis," ujar Takdir.
Ketua Majelis Hakim yang memimpin persidangan, Saefuddin Zuhri, lantas menengahi keduanya. Hakim mempersilakan Maqdir untuk melanjutkan pertanyaannya ke Budi.
Baca juga: Nurhadi Renovasi Rumah Miliaran Rupiah Pakai Duit Usaha Burung Walet
"Silakan saksi sudah lihat, sekarang pertanyaaanya bagaimana?" ucap Hakim Saefuddin.
Maqdir melanjutkan pertanyaannya dan mengonfirmasi keterkaitan antara inisial BS yang disampaikan Boyamin Saiman di media dengan Budi.
"Apa betul saksi ini memberikan keterangan seperti yang disampaikan oleh Boyamin Saiman bahwa memberikan data-data itu? Berita ini tadi, diterangkan oleh Boyamin bahwa saudara saksi ini bertemu Boyamin di Malaysia, dia menyerahkan data data mengenai asetnya Nurhadi?" tanya Maqdir lagi.
Belum selesai pertanyaan tersebut, Jaksa Takdir kembali menyela karena keberatan dengan pertanyaan itu. Menurutnya, pertanyaan Maqdir sama sekali tidak ada kaitannya dengan surat dakwaan.
"Izin majelis kami sangat keberatan majelis, tidak ada konteksnya dengan dakwaan dan pembuktian kami," ucap Jaksa Takdir sedikit lantang.
Maqdir bersikeras melanjutkan pertanyaannya dan kembali mencecar saksi Budi Susanto soal pernyataan Boyamin Saiman. Sebab, berdasarkan pemberitaan, ada pertemuan antara Boyamin Saiman dengan pemborong berinisial BS.
"Berita ini diterangkan oleh Boyamin Saiman bahwa saksi ini bertemu dengan Boyamin di Malaysia. Dia menyerahkan data-data mengenai asetnya Nurhadi," kata Maqdir.
"Izin majelis kami keberatan majelis, saksi kami tidak ada kaitannya dengan itu," timpal Jaksa Takdir.
Suasana berubah menjadi ricuh. Adu mulut tak terelakkan antara Jaksa Takdir dengan para pengacara Nurhadi.
Hakim Saefuddin Zuhri langsung mengetuk palu sidang beberapa kali untuk meredakan tensi masing-masing.
"Ini ada pimpinan sidang. Tunggu dulu, saudara (saksi) paham? Bisa jawab?" ucap Hakim Ketua Saefuddin Zuhri.
Budi awalnya diam dan memerhatikan debat antara jaksa dan pengacara pun menjawab. Menurutnya, inisial BS yang ada di berita itu bukan dia.
"Tidak betul, saya enggak kenal dengan Boyamin, kedua saya enggak pernah ke Malaysia," ucap Budi.
Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.
Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.
Uang Rp45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.
Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN. Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.
PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat. Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544.
Tak terima, PT KBN mengajukan banding. Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.
PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.
Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.
Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA. Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.
Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar.
"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.
Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000. Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.
Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan (Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000).