Respons Arief Poyuono soal Isu Gibran Masuk Pusara Korupsi Dana Bansos Covid-19
Eks Waketum Gerindra FX Arief Poyuono menyoroti soal polemik yang menyasar putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka
Penulis: Reza Deni
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Eks Waketum Gerindra FX Arief Poyuono menyoroti soal polemik yang menyasar putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang diduga terlibat dalam korupsi dana bansos Covid-19.
Diketahui, Gibran diduga merekomendasikan tas bansos dibuat di PT. Sritex. Menurut Arief, hal tersebut agar Jokowi melakukan intervensi ke KPK sehingga KPK tak terlalu aneh-aneh dan berlebihan keppda pelaku korupsi bansos.
"Tapi yang namanya Jokowi mah no bargain dengan yang namanya korupsi. Sama dengan SBY yang no bargain juga saat besannya dikandangi KPK," kata Arief dalam keterangannya, Selasa (22/12/2020).
Ditambahkan Arief, sekalipun Gibran merekomendasikan Sritex pada pihak Kemensos dan dapat fee pengadaan goodie bag, itu bukan korupsi.
Baca juga: Gibran Janji Bersikap Profesional, Tak akan Pengaruhi Para Menteri Jika Dilantik Jadi Wali Kota Solo
"Tapi lebih pada yg namanya jasa broker atau sales. Sekalipun harga goodie bag di mark up, Gibran juga tidak menyalahi hukum," katanya.
Menurut Ketum Federasi Serikat Pekerja BUMn tersebut, ini membuktikan Gibran yang belum jadi Walikota Solo, ternyata sudah bisa memasarkan industri yang ada di Solo seperti Sritex agar bisa dapat pesanan.
"Sehingga dampaknya menghasilkan pemasukan bagi Kota Solo berupa pajak dan menghindarkan dampak PHK buruh di Solo akibat Covid-19 di mana banyak industri tekstil gulung tikar," pungkasnya.
Baca juga: Diduga Terkait Gibran Rakabuming, KPK Bakal Proses Siapa Saja yang Terlibat Kasus Bansos
Rakabuming Raka membantah telah merekomendasikan PT Sritex untuk mendapat proyek pengadaan goodie bag bansos sembako Covid-19 di Kementerian Sosial.
“Enggak pernah seperti itu, itu berita yang tidak benar,” kata Gibran dalam keterangan video yang diterima Tribunnews.com, Senin (21/12/2020).
Gibran mempersilakan para pihak yang tidak mempercayai hal tersebut untuk menelusurinya ke KPK maupun PT Sritex.
“Ya nanti silakan aja dikroscek ke KPK, kroscek ke Sritex, kayaknya pihak Sritex juga sudah mengeluarkan statment,” katanya.
Baca juga: Terseret Isu Proyek Bansos, Gibran Mengaku Tak Pernah Bertemu Eks Mensos Juliari: Hanya Kenal
Diketahui, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara bersama Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemensos serta dua pihak swasta bernama Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Van Sidabukke sebagai tersangka kasus dugaan suap bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek.
Juliari dan dua anak buahnya diduga menerima suap senilai sekitar Rp17 miliar dari Ardian dan Harry selaku rekanan Kemensos dalam pengadaan paket bansos Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Kasus ini bermula dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode.
Juliari selaku Menteri Sosial menujuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.
Diduga disepakati adanya "fee" dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus Joko Santoso.
Fee untuk setiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi Wahyono sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos.
Selanjutnya Matheus dan Adi pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian Iskandar Maddanatja, Harry Van Sidabukke, dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Juliari dan disetujui oleh Adi Wahyono.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari P Batubara melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.
Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N, selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang "fee" dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari P Batubara.
Atas dugaan tersebut, Juliari P Batubara disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Adapun Ardian IM dan Harry Sidabukke yang diduga pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.