ICJR Sebut PP Kebiri Kimia yang Diteken Jokowi Memuat Banyak Masalah
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu menilai, terdapat sejumlah permasalahan yang timbul dari aturan tersebut.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritisi PP No. 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak (PP 70/2020), pada 7 Desember 2020 yang diteken Presiden Jokowi
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Senin (4/1/2021), Direktur Eksekutif ICJR Erasmus AT Napitupulu menilai, terdapat sejumlah permasalahan yang timbul dari aturan tersebut.
"PP ini memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas," kata dia.
Misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali.
Baca juga: Pelaku Kekerasan Seksual Anak Dikebiri Kimia, Sahroni : Memang Butuh, Kondisinya Sudah Mendesak
"Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih tehknis karena kebingungan dalam pengaturannya," ungkap Erasmus.
Selain itu ICJR menilai, hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis, sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur.
"Sampai detik ini, efektifitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti," tutur dia.
Baca juga: Penjelasan Lengkap terkait PP Kebiri Kimia yang Ditandatangani Presiden Jokowi
Dalam kritik yang disusun ICJR, KPI, Ecpat dan Mappi FH UI pada 2016, menyiapkan dan membangun sistem perawatan kebiri kimia yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal.
Sampai dengan saat ini, pihak pemerintah dan kementerian-kementerian terkait tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini.
"Fakta ini juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana," terang Erasmus.
Dengan adanya PP 70/2020 ini negara seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku.
Baca juga: Komnas Perlindungan Anak Dukung Penerapan Kebiri Kimia untuk Predator Seksual
Padahal korban masih harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri.
Selain anggaran, Indonesia juga belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual, berdasarkan tinjauan ICJR, aturan pemulihan.
Untuk itu, ICJR tetap menekankan pentingnya negara mempertimbangkan soal prioritas perlindungan dan pemulihan korban.
Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan peningkatan anggaran lembaga yang bertugas pada pelayanan pemulihan dan perlindungan korban, serta penyusunan aturan atau undang-undang yang secara komprehensif mengatur perlindungan dan pemenuhan korban.