Pro Kontra Hukuman Kebiri, Pemakaian Gelang Elektronik Hingga Belum Jelasnya Aturan Pengawasan
Sebelum memasang alat pendeteksi elektronik, Kemenkes harus memeriksa dan memastikan bagian tubuh yang tepat untuk pemakaian alat tersebut.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaku pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak masih merajalela. Pelaku seakan tidak juga jera dan terus memangsa korbannya.
Untuk mencegah hal itu terjadi, pemerintah kini mewajibkan para pelaku dipasang alat pendeteksi elektronik berbentuk gelang atau benda sejenisnya.
Ketentuan itu termuat dalam salah satu pasal di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak yang diteken Presiden Joko Widodo pada 7 Desember 2020.
Aturan itu tercantum pada Pasal 2 PP 70/2020.
Sementara Pasal 3 menyatakan pelbagai tindakan hukuman bakal dikerjakan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya atas perintah jaksa.
Namun begitu Pasal 4 menjelaskan, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik tidak berlaku bagi pelaku anak.
Adapun ketentuan pemasangan alat pendeteksi elektronik berupa gelang diatur dari Pasal 14 hingga Pasal 16.
"Tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan kepada pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul," demikian bunyi Pasal 14 ayat (1) PP Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Kemudian pada ayat (2) disampaikan bahwa pemasangan alat pendeteksi elektronik dilakukan segera setelah pelaku menjalani pidana pokok.
Baca juga: Pakar Angkat Bicara Soal Hukuman Kebiri Kimia untuk Pelaku Pelecehan Seksual Anak, Efektifkah?
Sementara ayat (3) menerangkan pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku diberikan paling lama dua tahun.
Pasal 15 PP ini menjelaskan bahwa alat pendeteksi elektronik dapat berupa gelang atau lainnya yang sejenis.
Berikutnya pada Pasal 16 disampaikan bahwa pemasangan dan pelepasan gelang elektronik dilakukan dengan tata cara Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyampaikan informasi lebih dahulu ke jaksa, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Sosial (Kemensos), maksimal satu bulan sebelum pemasangan gelang elektronik terhadap pelaku yang sudah selesai menjalani pidana pokok.
Namun, Kemenkumham sebelumnya harus memastikan bentuk alat pendeteksi elektronik yang bakal dipasangkan serta kelayakan atau kondisi alat.
Sebelum memasang alat pendeteksi elektronik, Kemenkes harus memeriksa dan memastikan bagian tubuh yang tepat untuk pemakaian alat pendeteksi elektronik tersebut.
Kemenkes pun harus menyampaikan surat pemberitahuan kepada jaksa atas hasil pemeriksaan paling lama tujuh hari kerja sebelum pelaku kekerasan seksual terhadap anak selesai menjalani pidana pokok.
"Pemasangan alat pendeteksi elektronik dilakukan atas perintah jaksa dengan memerintahkan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum bekerja sama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan," demikian bunyi Pasal 16 huruf e.
Pasal 17 peraturan pemerintah itu menyatakan, ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis tata cara pemasangan dan pelepasan alat pendeteksi elektronik diatur melalui peraturan menteri di bidang hukum.
Pelbagai tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, mulai dari kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi hingga pengumuman identitas pelaku bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta, sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Selain alat pendeteksi elektronik, PP baru tersebut juga mengatur soal kebiri kimia.
Pasal 1 ayat 2 dalam regulasi itu menyebutkan, tindakan kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain kepada pelaku yang pernah dipidana karena praktik kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Kemudian, pada Pasal 5 dalam PP tersebut menerangkan bahwa tindakan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu maksimal dua tahun.
Sementara Pasal 6 disebutkan bahwa tindakan kebiri kimia ditempuh melalui tiga tahapan yaitu penilaian klinis, kesimpulan, dan pelaksanaan.
Kepala Staf Presiden, Moeldoko, mengungkapkan penerbitan PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak itu merupakan upaya pemerintah merespons kegelisahan publik.
Baca juga: Istana Sebut PP Kebiri Kimia untuk Jawab Kegelisahan Masyarakat Terhadap Predator Seksual Anak
"Saya pikir ini pemerintah sensitif merespons kegelisahan, merespons berbagai juga kejadian di negara lain-lain, berikutnya pandangan publik di Indonesia memang satu hal ini perlu mendapatkan kepastian," kata Moeldoko di kantor KSP, Jakarta Pusat, Senin (4/1/2021).
Moeldoko menyebut PP kebiri kimia ini memberikan kepastian terhadap upaya konkret bagi pelaku pemerkosaan.
Menurut Moeldoko, masyarakat Indonesia diuntungkan dengan PP ini.
"Dengan PP itulah memberikan kepastian agar ada langkah-langkah yang lebih konkret, terhadap para pelaku pemerkosa ini, jadi ini sebenarnya masyarakat Indonesia sangat diuntungkan dengan PP ini. Karena Presiden memberikan kepastian atas upaya non judicial yang bisa meredam itu, jadi saya pikir poinnya di situ. Kalau persoalan ini merupakan persoalan yang betul-betul membuat gelisah semua orang, khususnya anak-anak kecil itu harus mendapatkan perlindungan yang ekstra ketat dari pemerintah," sambung Moeldoko.
Pro-kontra
Pengesahan Peraturan Pemerintah terbaru itu mendapat dukungan sejumlah pihak.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, ditekennya PP tersebut diharapkan dapat mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang cukup memprihatinkan di Indonesia.
"Akhirnya harapan Komnas Perlindungan Anak dan LPA Se-Nusantara, secara khusus Anak Indonesia, terkabulkan dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindak Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak," kata Arist dalam keterangannya, Senin (4/1/2021).
Arist juga mengatakan, pihaknya akan segera membentuk tim khusus untuk mensosialisasikan PP Pelaku Kekerasan Seksual Anak ini, sekaligus untuk mengantisipasi timbulnya pro dan kontra dari PP tersebut.
"Untuk pelaksanaan PP Nomor 70 Tahun 2020 ini, Komnas Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) se-Nusantara membentuk Tim Sosialisasi, Litigasi dan Advokasi PP 70 untuk antisipasi pro dan kontra atas PP kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik bagi predator kejahatan seksual terhadap anak," tuturnya.
Sementara Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda mengatakan, sanksi yang diatur dalam PP 70 sudah mencakup dua level sekaligus.
"Sebagaimana UU Nomor 23 soal Perlindungan Anak di-follow up dengan PP ini dengan 3 sanksi, saya kira sudah bagus. Sanksi ini sudah ada 2 level sekaligus diatur, yang pertama level ada konteks hukum pidana, kedua pada konteks hukum sosialnya. Ini saya kira sudah mencukupi terkait dengan supaya tidak terjadi semakin meningkatnya tingkat kekerasan anak dengan 3 hukuman ini," kata Syaiful saat dihubungi, Senin (4/1/2021).
"Jadi peraturan ini, 3 hukuman ini sudah mencakup 2 hal dan saya kira ini paling tinggi level hukum pidana dan sosialnya mulai publikasi dan dikasih alat deteksi," lanjutnya.
Salah satu sanksi yang menjadi sorotan dalam PP 70 itu adalah kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak.
Baca juga: ICJR Sebut PP Kebiri Kimia yang Diteken Jokowi Memuat Banyak Masalah
Syaiful menilai, hukuman kebiri kimia sudah sangat maksimal, semaksimal trauma yang dialami anak korban kekerasan seksual.
"Ini kan sebenarnya hukumannya cukup luar biasa, cukup maksimal sebenarnya. Semaksimal trauma yang dialami anak ketika mengalami kekerasan. Kenapa saya dukung karena kita bisa bayangkan ketika anak mengalami kekerasan seksual sejak kecil itu akan terbawa sampai dia meninggal," tuturnya.
Karena salah satu hukumannya adalah kebiri kimia, Syaiful meminta pengadilan harus bekerja sama dan bersinergi dengan Kemenkes dalam praktiknya. Hal ini supaya tindakan kebiri kimia tidak disalahgunakan.
"Karena itu, karena hukumannya sudah maksimal sama kebiri kimia, saya kira perlu dikoordinasikan supaya tidak disalahgunakan karena ini menyangkut soal medis. Berarti perlu koordinasi efektif dengan pihak stakeholder yang punya tugas dan fungsi terkait itu," ujarnya.
Di saat yang sama beberapa kalangan juga menentang aturan baru itu.
"Terkait dengan PP untuk pelaksanaan kebiri, Komnas Perempuan seperti halnya sikap awal ketika terhadap Perppu Nomor 1/2016 tentang Perubahan ke 2 atas UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak disahkan yang kemudian menjadi UU Nomor 17 tahun 2016, menyatakan bahwa Komnas Perempuan menentang pengebirian apapun bentuknya," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.
Ada sejumlah alasan yang dipaparkan Komnas Perempuan terkait menentang PP tersebut.
Alasan pertama, tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, serta menyelesaikan konflik.
"Pengebirian tidak akan mencapai tujuan tersebut karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena relasi kuasa yang tidak setara baik karena usianya atau cara pandang pelaku terhadap korban," ujar Siti.
Alasan kedua, kekerasan seksual terjadi bukan semata karena libido atau untuk kepuasan seksual.
Tetapi, kata Siti, terjadi karena sebagai bentuk penaklukan, ekspresi inferioritas maupun menunjukkan kekuasaan maskulin, kemarahan atau pelampiasan dendam.
"Jadi mengontrol hormon seksual tidaklah menyelesaikan kekerasan seksual," katanya.
Sementara Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai PP Nomor 70 Tahun 2020 ini bermasalah lantaran tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas.
Beleid ini dinilai tak menjelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan untuk menerapkan kebiri kimia.
"PP ini bahkan melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan, dan pelaksanaan yang bersifat klinis ke aturan yang lebih rendah," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulisnya.
Bukan cuma aspek pelaksanaan, Erasmus menilai mekanisme pengawasan dan pendanaan juga belum jelas diatur dalam PP.
Baca juga: Legislator PDIP Beri Catatan Terhadap PP Kebiri Kimia
"Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya," kata Erasmus.
Erasmus menjelaskan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tak bisa berbasis hukuman seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Sampai detik ini, kata Erasmus, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti.
"Maka jelas pelaksanaannya melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah," kata Erasmus.(tribun network/fik/fah/sen/dod)