Murphi: Tantangan Kapolri Baru Kembalikan Kepercayaan Masyarakat
Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri merupakan salah satu instrumen penting dalam mengukur kualitas layanan kepolisian.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi hukum senior, Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH berpendapat, kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri merupakan salah satu instrumen penting dalam mengukur kualitas layanan kepolisian.
Sebab itu, ia minta Kapolri baru untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
"Personel Polri yang profesional dan kepuasan masyarakat terhadap layanan kepolisian merupakan pondasi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri," ujarnya di Jakarta, Selasa (19/1/2021).
Sayangnya, kata Murphi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri, berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, terus mengalami fluktuasi, meski masih terbilamg tinggi, yakni di kisaran 70 persen.
Baca juga: Besok, Komisi III DPR Putuskan Nasib Komjen Listyo Sigit, Jadi Kapolri atau Tidak
Sebelum Pemilihan Presiden 2019, misalnya, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri meningkat. Sebaliknya, pasca-Pilpres 2019, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri menurun.
"Ini karena Polri terlihat kurang independen, profesional dan proporsional dalam penegakan hukum selama masa kampanye. Ibarat pedang, Polri tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Mereka yang pro-pemerintah kerap luput dari penegakan hukum. Sebaliknya, Polri gesit melakukan penegakan hukum terhadap mereka yang kritis terhadap pemerintah," jelas Murphi yang juga Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) ini.
Menjelang Hari Bhayangkara ke-75, 1 Juli 2020, kata Murphi, kepercayaan masyarakat terhadap Polri kembali meningkat, yakni di kisaran angka 75 persen.
Sayangnya, kata Murphi, kepercayaan masyarakat terhadap Polri kini menurun kembali pasca-insiden Polri dengan Front Pembela Islam (FPI) di Km 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, 7 Desember 2020 lalu yang menewaskan enam anggota laskar FPI.
"Komnas HAM dalam investigasinya menyimpulkan, penembakan empat dari enam anggota laskar FPI itu merupakan pelanggaran HAM," paparnya.
Sebab itu, kata Murphi, mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri merupakan tantangan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) yang baru pengganti Jenderal Idham Azis yang akan pensiun pada 1 Februari mendatang.
"Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri merupakan tantangan Kapolri baru," tegasnya.
Presiden Joko Widodo telah mengajukan calon tunggal Kapolri ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk dilakukan "fit and proper test" atau uji kelayakan dan kepatutan pada pekan ini.
Calon tunggal itu adalah Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Murphi menilai, siapa pun yang diajukan sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi tak masalah, karena itu merupakan hak prerogratif presiden.
"Namun itu tadi, Kapolri baru harus bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat yang merupakan bagian dari jargon Polri, yakni Profesional, Modern dan Terpercaya atau Promoter," pintanya.
Hanya saja, kata Murphi, langkah Listyo Sigit untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri tak akan mudah.
"Sebab, justru saat Listyo Sigit menjabat Kabareskrim itulah insiden Polri dengan FPI terjadi. Kecuali nanti bila Listyo berhasil menindaklanjuti seluruh rekomendasi Komnas HAM dalam kasus insiden di Jalan Tol Jakarta-Cikampek itu secara profesional, transparan, dan berkeadilan," urainya.
Selain itu, kata Murphi, ke depan Polri harus menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) dalam melakukan penegakan hukum, serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang merupakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Polri, sehingga tidak akan terjadi lagi pelanggaran oleh oknum-oknum Polri yang tidak bertanggung jawab.
"Polri juga harus mengedepankan asas praduga tak bersalah atau 'presumption of innocent' dalam menjalankan tupoksinya. Tugas aparat Polri adalah mengumpulkan barang bukti, bukan melakukan eksekusi. Soal eksekusi biarlah itu menjadi ranah kejaksaan setelah barang bukti itu diuji dan dibuktikan di pengadilan," cetusnya.
Ke depan, lanjut Murphi, Polri juga harus "soft" (lembut) dan "smart" (cerdas) serta "fair" (adil dan objektif) dalam melakukan penegakan hukum.
"Tidak boleh lagi ada tebang pilih, serta tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jika tidak, dan Polri masih 'keukeuh' dengan paradigma lama, jangan harap kepercayaan publik terhadap Polri akan pulih," tandasnya.