Soroti Perpres RAN-PE, PKS: Tidak Dijelaskan Secara Utuh Definisi Ekstremisme Berbasis Kekerasan
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan langkah Jokowi terbitkan Perpres No. 7/2021 tentang RAN-PE layak dikritisi.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menegaskan semua pihak sepakat menolak ekstremisme.
Namun, menurutnya langkah Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Perpres No. 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) berbasis kekerasan, layak dikritisi.
Dia mengatakan, dalam Perpres yang satu di antaranya mengatur pemolisian masyarakat dalam mengawasi kegiatan ekstremisme, tanpa adanya definisi yang dibenarkan oleh UU dan disetujui oleh DPR.
Menurutnya, Perpres seperti ini berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), menimbulkan saling curiga dan mengadu domba antar warga masyarakat.
Baca juga: Legislator Golkar: Perpres RAN-PE Tegaskan Komitmen Pemerintah Atasi Ekstremisme
“Dalam lampiran Perpres itu disebutkan adanya optimalisasi peran pemolisian masyarakat dalam pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah kepada Terorisme, tetapi tidak dijelaskan secara utuh definisi yang disepakati soal apa itu ekstrimisme berbasis kekerasan serta apa itu konsep pemolisian masyarakat yang dimaksud," kata HNW kepada wartawan, Jumat (22/1/2021).
"Jangan sampai hal ini menjadi pasal karet yang menjadi justifikasi bagi masyarakat untuk main hakim sendiri atau cepat lapor ke kepolisian tanpa bukti yang dibenarkan terhadap warga masyarakat yang lain hanya karena secara penilaian subyektif dituduh melakukan ekstremitas,” imbuhnya.
HNW menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 harusnya menjadi acuan.
Demikian juga UU tentang terorisme dan UU tentang Pertahanan Negara yang sudah mendefinisikan dengan jelas apa itu terorisme dan apa saja ancaman terhadap keamanan negara.
Satu di antara prinsip negara hukum adalah due process of law (proses hukum yang berkeadilan), sehingga segala celah yang dapat memungkinkan adanya tindakan main hakim sendiri harus ditutup secara rapat.
Baca juga: DPR Dukung Terbitnya Perpres Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme
Lebih lanjut, HNW mengatakan apabila yang dimaksud dengan pemolisian masyarakat adalah konsep community policing (yang menciptakan kolaborasi antara polisi/penegak hukum dan komunitas kelompok masyarakat dalam mengidentifikasi kejahatan), maka hal tersebut bisa berbahaya dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Sebab belum adanya kesepahaman baik dari rujukan UU yang ada maupun kesepakatan pembahasan di DPR mengenai istilah ekstremisme.
"Jangan sampai nanti ada kelompok yang gampang sekali disebut ekstrem, padahal sejatinya mereka hanya ingin menjalankan ajaran agamanya, atau mereka diframing sebagai melalukan ekstrimisme hanya karena yang bersangkutan bukan dari kelompok politik maupun sosial yang satu kubu dengan pemerintah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII DPR RI ini mengungkapkan, istilah ekstremisme sendiri kerap menjadi perdebatan di DPR dalam proses pembahasan undang-undang, terutama yang berkaitan dengan terorisme.
Pasalnya, bila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekstrem dapat diartikan sebagai “sangat keras dan teguh” dalam hal pendirian.
"Sikap teguh pada pendirian itu kan tidak memulu bersifat negatif. Jadi, perlu didudukkan sesuai konteksnya,” ucapnya.