KPAI Minta Disdik Sumbar Periksa Kepala SMKN 2 Padang yang Mewajibkan Siswi Non Muslim Pakai Jilbab
Pihak sekolah diduga kuat melanggar UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Penulis: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyartri prihatin dengan berbagai kasus di beberapa sekolah negeri yang terkait dengan intoleransi dan kecenderungan tidak menghargai keberagaman.
Akibatnya berpotensi kuat melanggar hak-hak anak, seperti kasus mewajibkan semua siswi bahkan yang beragama non Islam untuk mengenakan jilbab di sekolah.
Atau kasus beberapa waktu lalu dimana ada pendidik di SMAN di Depok dan DKI Jakarta yang menyerukan untuk memilih Ketua OSIS yang beragama Islam.
"Sekolah negeri adalah sekolah pemerintah, yang siswanya beragam atau majemuk. Oleh karena itu, sekolah negeri harusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM," ujar Retno Listyartri dalam keterangannya, Sabtu (23/1/2021).
Pernyataan ini diungkapkan Retno menanggapi video viral di media sosial yang memperlihatkan percakapan antara Elianu Hia (orang tua salah satu siswi yang beragama non Islam) dan pihak SMK Negeri 2 Padang.
Menurut pengakuan Elianu, dirinya dipanggil pihak sekolah karena anaknya, berinisial JCH, tidak mengenakan jilbab/kerudung saat bersekolah.
JCH tercatat sebagai siswi Kelas IX pada Jurusan Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran (OTKP)) di sekolah itu.
Baca juga: Siswi Non-Muslim di Padang Wajib Pakai Jilbab, Legislator PPP: Tidak Boleh Diskriminasi di Sekolah
Ia keberatan mengenakan jilbab karena bukan muslim.
Dalam video tersebut, Elianu berusaha menjelaskan anaknya adalah nonmuslim, sehingga cukup terganggu oleh keharusan untuk mengenakan jilbab.
Pihak sekolah yang menerima kehadiran Elianu menyebut penggunaan jilbab merupakan aturan sekolah.
Sehingga menjadi janggal bagi guru-guru dan pihak sekolah, kalau ada anak yang tidak mematuhi peraturan sekolah, karena di awal masuk sekolah, saat diterima di sekolah tersebut, dari awal orang tua dan anak sudah sepakat untuk mematuhi peraturan sekolah.
Aturan Sekolah Tidak Boleh Bertentangan dengan Aturan yang Lebih Tinggi
Dalam kasus ini diketahui Ombudsman Sumatera Barat sudah memanggil pihak SMKN 2 Padang untuk meminta klarifikasi.
Dari pertemuan pihak Ombudsman Sumatera Barat dengan pihak SMKN 2 Padang, Sekolah mengaku bahwa memang benar ada kebijakan sekolah yang mewajibkan siswi perempuan harus memakai berjilbab/berkerudung, walaupun peserta didiknya tidak semuanya beragama Islam, ada yang Nasrani, atau ada keyakinan yang lain.
Kepala sekolah bahkan menyampaikan kalau semua siswi, baik muslim maupun nonmuslim, di sekolah itu, kecuali siswa yang sedang viral tersebut, menurutnya tidak ada yang menolak selama ini.
"Tidak ada yang menolak bukan berarti kebijakan atau aturan sekolah tidak melanggar ketentuan perundangan lain yang lebih tinggi. Aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan, apalagi di sekolah negeri. Melarang peserta didik berjilbab jelas melanggar HAM, namun memaksa peserta didik berjilbab juga melanggar HAM," ungkap Retno.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan.
Peraturan ini seharusnya digunakan sebagai acuan atau panduan dalam menangani kasus yang terjadi di SMKN 2 Kota Padang, Sumatera Barat tersebut.
Dalam Permendikbud tersebut pada pasal 6 huruf (i) mengkategorikan tindakan kekerasan termasuk di antaranya adalah "tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku,agama, ras, dan/atau antar golongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada SARA yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan, pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan."
Dalam hal ini KPAI memberikan sejumlah rekomendasi:
Pertama, Pihak sekolah diduga kuat melanggar UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 39/1999 tentang HAM.
Ketentuan dalam berbagai peraturan perundangan tersebut dapat dipergunakan karena pihak sekolah telah membuat aturan sekolah yang bersifat diskriminatif terhadap SARA, sehingga mengakibatkan adanya peserta didik yang berpotensi mengalami intimidasi, karena dipaksa menggunakan jilbab, padahal dirinya beragama non-Islam.
Oleh karena itu, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat untuk memeriksa Kepala SMKN 2 Kota Padang dan jajarannya dengan Permendikbud No. 82/2015 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dan mengacu pada peraturan perundangan apa saja yang dilanggar pihak sekolah.
Baca juga: Disdik Sumbar Bentuk Tim Investigasi Peristiwa Siswi Non-Muslim Wajib Berjilbab di SMKN 2 Padang
"Pemberian sanksi walaupun hanya surat peringatan menjadi penting, agar ada efek jera," kata Retno.
Kedua, KPAI juga mendorong dinas-dinas Pendidikan Provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk mengingatkan pada stakeholder pendidikan di wilayahnya, terutama kepala sekolah dan guru untuk menjadikan kasus SMKN 2 Padang ini sebagai pembelajaran bersama sehingga tidak terulang lagi.
Ketiga, KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI untuk meningkatkan sosialisasi Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di Satuan Pendidikan, secara massif kepada dinas-dinas Pendidikan Provisi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Dinas-dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, kemudian melakukan sosialisasi juga kepada kepala-kepala sekolah di berbagai jenjang pendidikan di seluruh wilayahnya.
Keempat, KPAI mendorong adanya edukasi dan pelatihan-pelatihan kepada para guru dan kepala sekolah untuk memiliki persfektif HAM, terutama pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak peserta didik.
"Karena, ketika sekolah memiliki kebijakan memperkuat nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai persatuan, menghargai perbedaan, maka peserta didik akan mengimplemntasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.
Kelima, KPAI mengapresiasi para orang tua peserta didik untuk berani bersuara dan mendidik anak-anaknya juga untuk berani bersuara ketika mengalami kekekerasan di sekolah, baik kekerasan fisik, kekerasan seksual maupun kekerasan fisik.
Sebab salah satu cara menghentikan kekerasan adalah dengan bersuara.