Kuasa Hukum Minta Hakim Bebaskan Jaksa Pinangki
Dalam duplik ini, Aldres menepis tuduhan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Pinangki.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum jaksa Pinangki Sirna Malasari meminta majelis hakim membebaskan kliennya dari dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terkait kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk kepentingan terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra.
Tim kuasa hukum berpendapat tuduhan jaksa terhadap Pinangki perihal perbuatan suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat adalah keliru.
"Oleh karena itu, kami mohon kepada majelis hakim agar berkenan memutus perkara a quo dengan amar, membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum," ucap salah seorang penasihat hukum Pinangki, Aldres J Napitupulu, dalam sidang pembacaan duplik di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/1/2021).
Baca juga: Singgung Tuntutan Jaksa Pinangki, Politikus Golkar: Kalau Saya Jaksa Agung Saya Mengundurkan Diri
Aldres menegaskan kliennya sama sekali tidak terbukti menerima uang 500 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra sebagaimana termuat dalam surat tuntutan.
Jaksa, ungkap dia, tidak menguraikan secara jelas dan terang mengenai waktu maupun tempat kliennya menerima uang melalui perantara Andi Irfan Jaya.
"Bahkan, selama persidangan tidak ada saksi yang menerangkan hal tersebut. Dalam BAP yang dicabut Joko Soegiarto Tjandra pun tidak ada keterangan mengenai pemberian uang kepada terdakwa," kata Aldres.
Dalam duplik ini, Aldres menepis tuduhan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Pinangki.
Ia menegaskan biaya hidup pribadi kliennya tidak sepenuhnya mengandalkan dari gaji sebagai jaksa saja, melainkan juga ada sumber harta peninggalan almarhum suami Pinangki, Djoko Budiharjo.
"Kebutuhan tempat tinggal, kendaraan, keperluan rumah tangga sehari-hari, tidak mengandalkan gaji sebagai PNS Jaksa. Namun, semua itu berasal dari simpanan uang Almarhum Djoko Budiharjo, di mana sebelum meninggal almarhum menyiapkan banyak tabungan yang menjadi sumber uang terdakwa untuk membiayai kebutuhannya selama ini," tutur Aldres.
Sementara untuk pemufakatan jahat yang dilakukan Pinangki bersama-sama dengan Djoko dan Andi Irfan, Aldres menjelaskan hal tersebut tidak terbukti dalam persidangan.
Pinangki yang merupakan mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung dituntut 4 tahun penjara.
Selain itu, ia juga dituntut membayar denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Pinangki dinilai terbukti melakukan tindak pidana suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 8 Februari 2021 dengan agenda pembacaan putusan.
Mengemuka di rapat DPR
Masalah Jaksa Pinangki mengemuka di rapat DPR kemarin.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Supriansa merasa heran dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terpidana kasus korupsi yang semakin ringan, dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Saya melihat profesionalisme yang ada di kubu Kejaksaan menempatkan tuntutan terhadap orang-orang tersangka, saya melihat belum profesional Kejaksaan Agung selama ini," ujar Supriansa saat rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (26/1/2021).
Supriansa mencontohkan, tuntutan yang diberikan kepada terdakwa kasus suap Djoko Tjandra yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari hanya empat tahun dan subsider Rp 500 juta enam bulan kurungan.
Baca juga: Jaksa Minta Hakim Tolak Seluruh Pembelaan Pinangki dan Tim Kuasa Hukumnya
Jika dibandingkan tuntutan JPU kepada Jaksa Urip Tri Gunawan, kata Supriansa, pada waktu itu jauh lebih tinggi yaitu dituntut 15 tahun terkait suap Rp 6 miliar.
"Ini mempertontonkan bahwa kita tidak profesional dalam menempatkan kasus Urip pada 2008, Pinangki pada 2019-2020. Semestinya, semakin hari semakin tinggi tuntutan, tetapi justru semakin rendah dengan kasus dengan nilai yang sama," tutur Supriansa.
Supriansa menyebut, seharusnya Pinangki mendapat tuntutan yang lebih tinggi dari Urip karena telah melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji yaitu pelanggaran pasal 12 huruf A sebagai pegawai negeri, atau penyelenggara negara.
"Harapan kita itu yang harusnya lebih berat, apalagi bertemu dengan sang buronan. Kalau saya Jaksa Agung waktu itu pak, saya mengundurkan diri karena saya tidak bisa membina saya punya anak-anak di bawah sebagai pertanggungjawaban moral kepada publik," tuturnya.
Penulis: Ilham/Seno