Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun, ICW Kritik Pemerintah
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari skor 40 pada 2019 menjadi 37 di 2020.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari skor 40 pada 2019 menjadi 37 di 2020.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana memandang, merosotnya IPK Indonesia dapat dimaknai sebagai ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi.
"Secara garis besar, menurunnya skor IPK Indonesia dapat dimaknai pada tiga hal. Pertama, ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberantasan korupsi," ujar Kurnia melalui keterangannya, Kamis (28/1/2021).
Terlepas perubahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan, Kurnia menyatakan, pemerintah dan DPR sepanjang 2020 telah merumuskan undang-undang yang mementingkan kelompok oligarki serta mengesampingkan nilai-nilai demokrasi.
"Sebut saja misalnya Omnibus Law UU Cipta Kerja, tak bisa dipungkiri, pemerintah maupun DPR hanya mengakomodir kepentingan elit dalam kerangka investasi ekonomi dan mengesampingkan pentingnya tata Kelola pemerintahan yang baik," kata Kurnia.
Baca juga: TII: Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun 3 Poin dari Tahun Lalu
Padahal, menurutnya, pada saat yang sama pemerintah dan DPR dapat memprioritaskan pembahasan sejumlah produk legislasi penguat upaya pemberantasan korupsi seperti revisi UU Tindak Pidana Korupsi, RUU Perampasan Aset, dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai. Namun, hal itu urung dilakukan.
Selain itu, penurunan IPK Indonesia tahun ini juga dipandang sebagai akibat dari kegagalan reformasi penegak hukum dalam memaksimalkan penindakan perkara korupsi.
Kesimpulan tersebut bukan tanpa dasar. Kurnia menyampaikan, merujuk pada data KPK, jumlah penindakan mengalami penurunan drastis sepanjang 2020 lalu.
"Mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai pada instrumen penting seperti tangkap tangan. Akan tetapi, penurunan ini dapat dimaklumi karena adanya perubahan hukum acara penindakan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi tumpul," ujarnya.
Kemudian, penurunan IPK juga dapat dikatakan akibat dari melempemnya performa KPK selaku lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi.
Menurut Kurnia, KPK lebih banyak menciptakan kontroversi ketimbang menonjolkan prestasi sejak komisioner periode 2019-2023 dilantik.
Padahal, Kurnia menilai KPK selama ini merupakan salah satu pilar penting yang bisa mendongkrak skor IPK Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
"Mundurnya kinerja KPK tentu tidak bisa dilepaskan dari keputusan politik pemerintah dan DPR dalam menentukan komisioner KPK saat ini," kata Kurnia.