KPK Usut Dugaan Aliran Korupsi di PT Dirgantara Indonesia ke Kemensetneg
KPK menduga terdapat aliran uang korupsi PT Dirgantara Indonesia ke pejabat Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut aliran korupsi dalam dugaan kasus pengadaan kegiatan penjualan dan pemasaran pada PT Dirgantara Indonesia (DI) tahun 2007-2017.
KPK menduga terdapat aliran uang korupsi PT Dirgantara Indonesia ke pejabat Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menerangkan, dugaan aliran uang korupsi PT DI ini didalami kepada empat orang saksi.
Mereka diperiksa untuk tersangka Budiman Saleh yang merupakan mantan direktur PT Dirgantara Indonesia.
Baca juga: KPK Periksa Pejabat Kemensetneg Usut Aliran Uang dalam Kasus Korupsi di PT Dirgantara Indonesia
Mereka di antaranya Kemal Hidayanto selaku mantan Manajer Penjualan ACS Wilayah Domestik PT DI; Achmad Azar selaku Manager Penagihan PT DI 2016-2018; Suharsono selaku mantan Kabiro Keuangan Sekretariat Kemensetneg tahun 2006-2015; dan Teten Irawang selaku Manajer SU ACS tahun 2017 PT DI.
"Melalui keterangan para saksi tersebut, tim penyidik KPK masih terus mendalami adanya dugaan penerimaan sejumlah dana sebagai kickback dari PT Dirgantara Indonesia kepada pihak-pihak tertentu di Setneg terkait pengadaan pesawat," terang Ali melalui keterangannya, Kamis (28/1/2021).
KPK sebelumnya pada Selasa (26/1/2021) telah memeriksa mantan Sekretaris Kemensetneg Taufik Sukasah dan Kepala Biro Umum Kemensetneg Piping Supriatna dalam kasus kasus pengadaan kegiatan penjualan dan pemasaran pada PT DI.
Dalam pemerikaaan itu juga, KPK mendalami aliran uang korupsi PT DI ke pejabat di Kemensetneg.
"Taufik Sukasah dan Piping Supriatna, kedua saksi tersebut didalami pengetahuannya terkait adanya dugaan penerimaan sejumlah dana oleh pihak-pihak tertentu di Setneg terkait proyek pengadaan service pesawat PT Dirgantara Indonesia," kata Ali.
Kemensetneg telah menanggapi pengusutan KPK terkait dugaan aliran korupsi PT DI ke pejabatnya.
Namun, Kemensetneg menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut ke KPK.
"Saya kira ini sedang berproses hukum di KPK, sebaiknya ditanyakan ke KPK saja," pungkas Asdep Humas Kemensetneg Eddy Cahyono Sugiarto, Rabu (27/1/2021).
Dalam kasus ini, Budiman diduga telah menerima aliran dana hasil pencairan pembayaran pekerjaan mitra fiktif sebesar Rp 686.185.000. Kasus ini bermula dari rapat Dewan Direksi PT DI periode 2007-2010 yang dilaksanakan pada akhir tahun 2007.
Rapat itu menyepakati sejumlah hal, salah satunya menggunakan mitra penjualan sebagai cara untuk memperoleh dana khusus guna diberikan kepada customer/end user.
Para pihak PT DI kemudian melakukan kerja sama dengan Didi Laksamana serta para pihak di lima perusahaan yaitu PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Angkasa Mitra Raya, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Penta Mitra Abadi, PT Niaga Putra Bangsa, serta Direktur Utama PT Selaras Bangun Usaha Ferry Santosa Subrata untuk menjadi mitra penjualan.
PT DI kemudian melakukan penandatanganan kontrak mitra penjualan tersebut sebanyak 52 kontrak selama periode 2008-2016.
"Kontrak mitra penjualan tersebut adalah fiktif, dan hanya sebagai dasar pengeluaran dana dari PT DI (Persero) dalam rangka pengumpulan dana untuk diberikan kepada customer/end user," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto, Kamis (22/10/2020).
Pembayaran dari PT DI kepada perusahaan mitra penjualan tersebut dilakukan dengan cara transfer langsung ke rekening perusahaan mitra penjualan.
Lalu, uang yang ada di rekening tersebut dikembalikan ke pihak-pihak PT DI maupun pihak lain melalui transfer, tunai, atau cek.
"Dana yang dihimpun oleh para pihak di PT DI (Persero) melalui pekerjaan mitra penjualan yang diduga fiktif tersebut digunakan untuk pemberian aliran dana kepada pejabat PT DI (Persero), pembayaran komitmen manajemen kepada pihak pemilik pekerjaan dan pihak-pihak lainnya serta pengeluaran lainnya," kata Karyoto.
KPK menaksir kerugian dalam kasus ini mencapai Rp315 miliar terdiri dari Rp202.196.497.761,42 dan 8.650.945,27 dolar AS.
Dua tersangka lain dalam kasus ini yakni eks Direktur Utama PT DI Budi Santoso dan eks Asisten Dirut PT DI Bidang Bisnis Pemerintah Irzal Rinaldi telah dibawa ke persidangan.