Tanggapan Yenny Wahid Soal Intoleransi Dalam Dunia Pendidikan
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid menanggapi isu intoleransi yang terjadi di daerah terutama yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –- Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid menanggapi isu intoleransi yang terjadi di daerah terutama yang terjadi dalam dunia pendidikan.
Seperti pada kasus di Padang baru-baru ini dimana seorang siswi non Muslim dipaksa menggunakan jilbab. Atau kasus di Bali dimana siswi dilarang untuk menggunakan hijab saat pergi ke sekolah.
Sebelumnya Yenny menggaris bawahi bahwa permasalahan intoleransi merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di seluruh dunia.
Angka intoleransi hampir disemua negara naik, termasuk di Indonesia. Namun diterangkannya, Indonesia masih dalam kategori yang aman.
Baca juga: Komitmen Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Melawan Segala Bentuk Intoleransi di Tanah Air
“Indonesia dibandingkan negara lain tidak masuk dalam kategori yang parah soal intoleransi,” kata Yenny dalam webinar yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama (NU), Jumat (29/1/2021).
Yenny mengatakan Indonesia memang negara yang termasuk konservatif, dan penduduknya juga religius. Namun disisi lain Indonesia memiliki tradisi toleransi yang kuat dibandingkan negara lainnya.
Di negara lain bahkan ada trauma-trauma sejarah yang mereka alami di masyarakat, yang membuat masyarakat sekat yang mengakibatkan bentrok. Baik dari sisi ideologis, maupun bentrok ideologis yang termanifestasi dalam bentuk bentrok fisik seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Baca juga: Hari Toleransi Internasional Diperingati Setiap 16 November, Ini Sejarah & Cara Melawan Intoleransi
“Kita melihat intoleransi rasial (di AS) naik. Ekspresinya bahkan bisa menggunakan senjata, karena kepemilikan senjata api itu diperbolehkan karena dianggap sebagai bagian dari hak dasarnya,”
Yenny berharap masyarakat jangan melihat permasalahan intoleransi dari kaca mata yang sempit, karena kehidupan dunia dewasa ini amat dinamis.
Adanya revolusi teknologi dan industri membawa perubahan yang besar, termasuk jalannya konstruksi kehidupan di semua lini, baik dari cara berinteraksi, cara mengkonsumsi barang, cara berproduksi dan lainnya.
Baca juga: Sejarah Hari Toleransi Internasional, Diperingati Tiap 16 November, Berikut Cara Melawan Intoleransi
“Bagaimana menyikapinya? NU sebagaimana komunitas lainnya saat ini juga berjuang untuk bisa menavigasi tantangan tersebut,” katanya.
Yenny mengatakan NU lahir sebagai sebuah jawaban persoalan yang saat itu muncul, dimana ada sebagian suara masyarakat muslim yang tidak terakomodir dalam percaturan dunia islam global, lalu kemudian dihadirkan dalam sebuah organisasi.
NU memastikan komunitasnya tidak hanya menjadi korban dari kehidupan global, maupun jadi penonton saja. Tapi turut bisa menjadi pemain yang aktif di dunia global.
Mengerasnya politik identitas, kebingungan di masyarakat dengan begitu banyaknya arus ideologi dan narasi politik maupun keagamaan harus dijawab dengan panduan beragama yang baik dan benar, sehingga tidak mengalienasi kelompok lainnya.
Baca juga: Oknum Ormas di Solo Bubarkan Paksa Acara Makan-makan Keluarga, Polisi: Ada Kelompok Intoleransi
“NU sudah melakukan itu semuanya, misalnya dengan mendorong agar tidak ada dikotomi antara kecintaan kepada rasa nasionalisme dan spiritualisme. Mencintai bangsa dan negara merupakan bagian dari keimanan,” ujarnya.
Kedepan, menurut Yenny yang harus lebih dikuatkan lagi adalah implementasi untuk mendorong masyarakat bisa mempraktekkan cara berinteraksi yang tetap mengedepankan akhlakul karimah, tanpa takut kehilangan akidah.
“Pluralisme dalam agama saja itu jelas ada, pemikiran antara kiai satu dengan yang lainnya belum tentu sama. Karena itu bagi NU mudah bagi kita untuk berinteraksi dengan kelompok non muslim,” kata Yenny.
Yenny mengatakan tantangan kedepan yang akan dihadapi Indonesia yakni persoalan keadilan, karena permasalahan keadilan yang terpercik di masyarakat menjadi salah satu pemicu timbulnya intoleransi dan radikalisme.
Oleh karena itu, ia berharap NU tetap memikirkan dan memformulasikan cara-cara berkeadilan agar bisa diimplementasikan dalam masyarakat.
“Keadilan-keadilan itu bagaimana caranya NU harus tetap memformulasikan agar bisa implementatif dalam kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.