Soal Kebijakan Pajak Pulsa hingga Token Listrik, Stafsus Sri Mulyani Beri Penjelasan
Stafsus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, memberikan penjelasan terkait kebijakan baru penjualan pulsa.
Penulis: Ranum KumalaDewi
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Mulai Senin (1/2/2021) besok, pemerintah memberlakukan kebijakan baru terkait pajak penjualan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer.
Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.
Namun kebijakan skema baru pemungutan pajak tersebut menuai kontroversi.
Lewat cuitannya di Twitter, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menjelaskan terkait peraturan baru tersebut.
Ia mengatakan peraturan serupa sebenarnya sudah ada sejak era Presiden Soeharto.
Baca juga: Pajak Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer Makin Memberatkan Rakyat di Saat Pandemi
Baca juga: Penjelasan Sri Mulyani Soal Pajak Pulsa dan Token Listrik, Ini Respon Operator Seluler
Mengenai PPn, ujar Prastowo, bukanlah barang baru.
Usia peraturan mengenai PPn sendiri sudah berumur 36 tahun.
Prastowo menjelaskan aturan perpajakan di Indonesia sudah berubah signifikan sejak 1984.
"Kita ngobrol soal PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ya bukan PPn (Pajak Penjualan). Ntar nyambung ke #pulsa. Pajak ini sdh ada sejak 31 Desember 1983 dan berlaku 1 Juli 1984, melalui UU No 8 Tahun 1983. Ditandatangani Presiden Soeharto & menandai reformasi pajak di Indonesia. #PPN," cuit Prastowo di akun @prastow, Sabtu (30/1/2021), dikutip Tribunnews.com.
"Lho ternyata #PPN bukan barang baru ya? Jelas bukan. Bahkan usianya sudah 36 tahun dan mengalami berbagai perubahan. Tahun 1983 menandai era baru perpajakan dg berubahnya official assessment ke self assessment (swalapor). Ciri demokratis pajak menguat dan ini sangat penting."
"Paket Reformasi Pajak 1983 melahirkan UU 6 Tahun 1983 (UU KUP), UU 7 Tahun 1983 (UU PPh), UU 8 Tahun 1983 (UU PPN), dan UU 12 Tahun 1985 (UU PBB). Sejak 1984, sistem dan praktik perpajakan Indonesia berubah signifikan. Reformasi melibatkan para ahli dr AS dan Belanda," tutur Prastowo.
Lebih lanjut, Prastowo menerangkan PPN adalah pajak konsumsi barang atau jasa.
Hal ini berarti siapapun yang membeli barang atau jasa yang menurut UU dikenai pajak, maka akan wajib membayar PPN.
Karena itu PPN disebut sebagai Pajak Objektif, karena yang dikenai objeknya yaitu konsumsi.
Tak hanya itu, PPN juga disebut sebagai Pajak Tidak Langsung karena sasarannya konsumen barang atau jasa, namun pemungutannya melalui pengusaha di tiap mata rantai.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Tanggapi soal Pajak Pulsa dan Token Listrik, Sebut Tak Berpengaruh pada Harga
Baca juga: Rizal Ramli Kritik Sri Mulyani: Pajak Pulsa Bagian dari Dampak Utang dengan Bunga Sangat Tinggi
Baca juga: Viral Galon Isi Ulang Mengandung Zat Berbahaya
"Itulah kenapa PPN disebut Pajak Objektif, karena yg dikenai objeknya yaitu konsumsi. Disebut juga Pajak Tidak Langsung, karena sasarannya konsumen barang/jasa tapi pemungutannya melalui pengusaha di tiap mata rantai: pabrikan>distributor>pengecer>konsumen akhir," bebernya.
Di akhir utasnya, Prastowo menilai kebijakan baru ini tidak perlu dijadikan polemik.
Ia menyampaikan hal ini sudah merupakan hal yang biasa, karena menguntungkan publik dan negara.
"Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yg biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara. Semoga penjelasan sy bermanfaat. Mohon bantu jelaskan ke mereka yg msh ragu atau tidak jelas. Mari terus bekerja sama utk kebaikan Indonesia tercinta. Salam," tutupnya.
Berikut utas lengkap Prastowo terkait kebijakan aturan baru pajak pembelian pulsa:
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak(DJP) Kementerian Keuangan RI, Hestu Yoga Saksama, mengatakan ada hal-hal yang perlu diketahui masyarakat terkait pemungutan PPN atas pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer berdasarkan ketentuan yang baru ini.
Diwartakan Tribunnews.com, satu diantaranya yakni mengenai pulsa dan kartu perdana, pemungutan PPN hanya sampai distributor tingkat II (server), sehingga untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.
Lalu untuk token listrik, PPN dikenakan hanya atas jasa penjualan atau pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token, dan bukan atas nilai token listriknya.
Sementara untuk voucer, PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucer, bukan atas nilai voucer itu sendiri.
Hal ini dikarenakan voucer diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN.
Baca juga: XL Axiata Masih Pelajari Aturan Baru terkait Pajak Penjualan Pulsa
Baca juga: Jualan Pulsa, Voucher dan Token Listrik Kena Pajak, Pedagang Tak Perlu Bikin Faktur Baru
Sebelumnya melalui akun Instagram pribadinya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, telah memberikan penjelasan terkait pungutan pajak, Sabtu (30/1/2021).
Sri Mulyani menjelaskan, ketentuan terkait penghitungan dan pemungutan pajak tidak akan mempengaruhi harga pulsa atau kartu perdana, token listrik, dan voucer.
Bendahara negara itu juga mengatakan, PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucer sudah berjalan.
Sehingga, tidak ada pungutan pajak baru untuk pulsa, token listrik, dan voucer.
Berikut Penjelasan dari Sri Mulyani:
PENJELASAN MENGENAI BERITA PEMAJAKAN ATAS PULSA/KARTU PERDANA, TOKEN LISTRIK DAN VOUCER.
(PMK 06/PMK.03/2021)
1. Ketentuan tersebut TIDAK BERPENGARUH TERHADAP HARGA PULSA /KARTU PERDANA, TOKEN LISTRIK DAN VOUCER.
2. Selama ini PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucer SUDAH BERJALAN. JADI TIDAK ADA PUNGUTAN PAJAK BARU UNTUK PULSA, TOKEN LISTRIK DAN VOUCER.
3. Ketentuan tersebut BERTUJUAN MENYEDERHANAKAN PENGENAAN PPN DAN PPH atas pulsa/kartu perdana, Token listrik dan Voucer, dan untuk MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM.
PENYEDERHANAAN PENGENAAN ADALAH SEBAGAI BERIKUT:
Baca juga: Tanggapan Indosat dan XL Axiata Setelah Voucher dan Kartu Perdana Dipajaki Mulai 1 Februari 2021
Baca juga: Jualan Pulsa dan Kartu Perdana Kena Pajak, Pembelinya Bagaimana?
1. PEMUNGUTAN PPN
*a. Pulsa/kartu perdana*
Dilakukan penyederhanaan pemungutan PPN, sebatas sampai pada distributor tingkat II (server).
SEHINGGA DISTRIBUTOR TINGKAT PENGECER YANG MENJUAL KEPADA KONSUMEN AKHIR TIDAK PERLU MEMUNGUT PPN LAGI.
*b. Token Listrik*
PPN TIDAK DIKENAKAN ATAS NILAI TOKEN, namun hanya dikenakan atas JASA PENJUALAN/KOMISI yang diterima agen penjual.
*c. Voucer*
PPN TIDAK DIKENAKAN ATAS NILAI VOUVER - karena Voucer adalah Alat pembayaran setara dengan uang. PPN hanya dikenakan atas JASA PENJUALAN/PEMASARAN berupa KOMISI atau selisih harga yang diperoleh agen penjual.
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian oleh distributor pulsa, dan PPh Pasal 23 atas jasa penjualan/pembayaran agen token listrik dan voucer MERUPAKAN PAJAK DIMUKA BAGI DISTRIBUTOR/AGEN YANG DAPAT DIKREDITKAN (dikurangkan) dalam SPT Tahunannya.
JADI TIDAK BENAR ADA PUNGUTAN PAJAK BARU UNTUK PULSA, KARTU PERDANA, TOKEN LISTRIK DAN VOUCER.
PAJAK YANG ANDA BAYAR JUGA KEMBALI UNTUK RAKYAT DAN PEMBANGUNAN.
KALAU JENGKEL SAMA KORUPSI -MARI KITA BASMI BERSAMA..!
(Tribunnews.com/Ranum Kumala Dewi/Choirul Arifin)